Mengenai telur yang dibawa ke MCC, Ahmad Abuhadjim menentang dan ia sendiri tidak berani. Pernagkat adat harus berdiskusi dan bermusyawarah dahulu dengan pemilik telur, kalau mereka izinkan, baru pihak MCC boleh membawa telur-telur itu.
“Memang kemarin itu sudah telanjur keluar di publik (penyerahan simbolis dan dikembalikan ke Batui). itu telur, aturannya, selama dua malam di keraton, tidak keluar satu butir pun. Saya kemarin itu bukannya marah, tapi kenapa kamu tidak bakasih tau saya dulu? Karena yang punya belum datang ambil. Kalau yang punya sudah datang ambe, baru ada kegiatan begitu (penyerahan simbolis), itu saya setuju. Sebab ini aturan sudah begitu, ini adat, tidak bisa kita ganggu gugat. Kalau konsultasi dengan saya, sama saya ada telur yang saya simpan. Itu yang kitorang pakai untuk simbolis, jangan telur yang baru. Karena nanti sasarannya sama kitorang,” protes Ahmad.
Ahmad Abuhadjim memastikan telur yang diserahkan secara pada simbolis malam penutupan festival itu, dikembalikan ke keraton dan tidak ada yang keluar. Berkali-kali Ahmad menekankan bahwa telur-telur bisa saja diserahkan kepada pihak LNG tetapi harus dimusyawarahkan dulu oleh perangkat adat dan pemilik telur.
Djamil Hamid setuju jika telur-telur burung itu dikembalikan untuk ditetaskan. Terlepas dari pemilik telur, telur pembagiannya jika ada, ia memilih untuk ia serahkan ke MCC, karena sudah lama dia tidak mengonsumsi telur Maleo. Telur yang tahun lalu saja, masih ada, 1 butir.
“Kalau masih ada mama saya, telur itu kami makan. Mama saya meninggal tahun 2000. Sekarang sudah tidak lagi, karena di Banggai ini banyak ikan. Jadi daripada tidak diapa-apakan, tidak dimakan, lebih baik dikasihkan untuk ditetaskan, ujarnya.