Popy mengatakan bahwa telur yang masyarakat Batui peroleh itu tidak dari Bakiriang, karena di Bakiriang, mereka tidak lagi mengizinkan mengambil telur Maleo. Maleo Consevation Center telah bekerja dengan izin BKSDA Kab. Banggai. Kemungkinan besar telur-telur burung itu diperoleh di luar Bakiriang.
Sutrisno membenarkan bahwa telur-telur itu memang bukan dari Bakiriang kalau dilihat dari bentuknya. Masyarakat Batui mencari telur hingga ke Balantak, dan Balingara. Ukuran telur yang dari Bakiriang lebih besar dari tempat lain. “Karena dulu kami pernah membandingkan, sehingga saya yakin,” katanya.
Tetapi kata Sutrisno, itu tidak mengapa. Jika telur-telur semakin berkurang karena semakin kurang pula burung maleo, Festival ini tinggal simbol saja. Karena tidak menutup kemungkinan suatu waktu telur maleo yang asli dari Batui hanya 2 butir, sehingga tidak bisa dijadikan ukuran adat atau jumlah penduduk di Batui.
Ahmad Abuhadjim tidak mempersoalkan telur-telur yang diperoleh dari luar Batui. Katanya itu adalah bentuk tanggung jawab masyarakat Batui. Tetapi bagaimana pun upaya mereka, mereka harus mendapatkan telur pertama dari Maleo yang ada di Batui, itu yang dinamakan Tumbe, dan Tumbe itu harus Maleo yang di Bakiriang.
“Ada orangnya mereka di sana, yang menjaga burung Maleo bertelur, dan ambil telur pertama. Jadi tidak mengapa ada telur yang dari Balantak, Pagimana dan lainnya, asalkan ada yang asli, Tumbe itu. Artinya, hanya berkurang jumlahnya, tapi adat telurnya tetap ada. Kalau pun yang lain mereka beli, itu tinggal mereka. Kalau menurut saya, kan, sebenarnya keluarga Batui punya urusan. Karena urusan memelihara burung itu, bukan urusan kita, mereka punya urusan. Kan, sudah sudah ada perjanjian, mereka yang pelihara, dengan catatan telur itu sampai di Banggai dulu, baru bisa orang Batui makan.”