Kata “Insyaallah” begitu populer bagi masyarakat di Tanah Air. Tak hanya dalam percakapan sehari-hari, salah satu kalimat thayyibah ini juga sangat sering kita dengar di media massa terutama tayangan televisi.
Meski begitu, seperti biasa, kata ini sering diterima dan dipakai begitu saja tanpa menyesuaikan makna dan penggunaan yang seharusnya.
Kata “Insyallah” kerap diucapkan untuk janji yang potensial dilanggar, komitmen yang tidak teguh, atau harapan yang tidak pasti. Meski lebih sering kita jumpai, bukan berarti semua itu tepat. Orang menyebutnya salah kaprah alias kekeliruan yang sudah menjadi kebiasaan.
Kata Insyaallah pertama kali diucapkan Rasulullah seperti yang tertulis dalam kisah beriikut ini: Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, kaum kafir Quraisy bersekongkol bersama para pendeta Yahudi untuk menjatuhkan Rasulullah.
Maka, diutuslah dua Quraisy, an-Nadlr bin al-Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Oleh para pendeta Yahudi dua utusan ini diberi saran, “Jika benar Muhammad itu seorang Rasul, pasti ia bisa menjawab tiga hal yang pernah terjadi. Tanyakan kepadanya tentang pemuda-pemuda yang pernah tinggal di dalam gua, seorang pengembara penakluk dari Masyriq hingga negeri Maghrib dan tentang apa itu ruh.”
Keduanya menghadap Rasulullah dan menanyakan ketiga hal tersebut. Rasulullah menyanggupi, “Aku akan menjawabnya tentang hal-hal yang kamu tanyakan itu besok (tanpa mengatakan Insyaallah).”
Saat itu, Rasulullah sangat yakin bahwa Allah akan menurunkan wahyu tentang tiga hal tersebut.
Namun, selama 15 malam lamanya, Rasulullah menunggu-nunggu wahyu dari Allah. Bahkan, malaikat Jibril yang biasanya datang pun tak kunjung datang sehingga orang-orang Makkah saat itu tampak goyah. Betapa sedihnya Rasulullah dan tidak tahu apa yang harus beliau katakan kepada kaum kafir Quraisy.
Hingga suatu hari, Jibril datang menyampaikan wahyu tentang ketiganya sambil mengingatkan, “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan atau menjawabnya esok hari”. Kecuali (dengan mengatakan), ‘Insyaallah’ (Jika Allah menghendaki). Dan ingatlah Tuhanmu jika engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada itu” (QS al-Kahfi: 23-24).
Seorang teman yang datang dari menunaikan ibadah haji bercerita tentang keberpisahan dengan istrinya pada hari pertama di Makkah.
Setelah dirunut ada satu kesalahan yang diucapkan istrinya menjelang keberangkatannya. Saat itu ia bertanya, “Dik, ingat ya nanti kalau di tanah suci jangan misah-misah!” Istrinya yang merasa yakin tidak akan berpisah langsung menyahut, “Ya ndak mungkinlah, Mas.” Baru turun dari bus di waktu subuh di Masjidil Haram pada hari pertama, ia langsung berpencar dan baru bertemu kembali pada jam sembilan malam.
Manusia kadangkala terlalu optimistis, kalau bukan sombong, dengan usahanya sendiri. Ia lupa jika Allah tidak pernah mengantuk dan tidak pula tidur. Islam mengajarkan, setelah menciptakan, Allah tidak lantas membiarkan semuanya berjalan tanpa kendali.
Dengan doa hamba-Nya, Allah akan tetap mengatur dan mengabulkannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan model pemikiran Barat (Deisme) yang meyakini bahwa apa yang dilakukan manusia di dunia ini tidak ada campur tangan Tuhan.
Ungkapan “Insyaallah” adalah tanda seseorang itu beriman dengan keberadaan Tuhan. Sebagai simbol bahwa manusia itu lemah di hadapan-Nya. Sekuat dan semaksimal apa pun usaha manusia, jika Allah tidak menghendaki, hal itu tidak akan terjadi.
Dengan demikian, mengucapkan kata insyaallah sesungguhnya bersumber dari perintah Al-Qur’an. Secara literal ia berarti “jika Allah menghendaki”.
Ayat ini mengandung pendidikan bagi pengucapnya tentang pentingnya rendah hati. Tidak terlalu mengandalkan kemampuan pribadi karena ada kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)