OLEH: Jamrin Abubakar*
Apa pentingnya pohon mahoni (Swietenia mahagoni) bagi Kota Donggala? Pertanyaan itu kembali mengemuka belakangan ini. Sebab setiap ada pemangkasan apalagi penebangan, pasti mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama kalangan pemerhati lingkungan dan budaya paling gencar menyatakan keberatan.
Secara historis, pohon mahoni menjadi tanaman ciri khas kota-kota kolonial di nusantara, salah satunya Donggala.
Pemerintah Hindia Belanda menanam untuk membentuk kawasan hijau di pusat perkotaan, selain fungsi secara botani di mana buahnya menjadi bahan berbagai jenis obat.
Karena itu kota bekas kolonial seperti Donggala, mahoni ditanam di pusat perkotaan seperti tepi Jalan Lamarauna, Kelurahan Tanjung Batu dan beberapa pohon di Jalan Pelabuhan, Kelurahan Boya.
Deretan mahoni di Jalan Lamarauna menunjukkan jika di tempat itu pernah menjadi kawasan perumahan pegawai pemerintah Belanda yang dikenal “Rumah Tujuh.” Sampai sekarang, orang-orang tua masih mengingat dan sering menyebut kawasan bekas rumah tujuh walau kenyataan sejak tahun 1970-an seluruh bangunan telah berganti bangunan baru.
Disebut rumah tujuh waktu itu jumlahnya tujuh unit, bentuknya sama persis dalam satu deretan, terlihat sangat indah dan unik.
Sedangkan penanaman mahoni di sekitar Jalan Pelabuhan dekat gereja hingga dekat jembatan karena pada masanya, di kawasan itu juga terdapat perkantoran.
Penanaman mahoni di Kota Donggala bersamaan di masa awal peletakan dasar pemerintahan Belanda awal abad ke 20.
Hal serupa juga terjadi di Kota Palu, sekitar Gedung Gezagheiber (rumah dan kantor onderafdeling) kini disebut Gedung Juang. Di seputaran taman nasional hingga Jalan Hasanuddin dan Pusat Pertokoan Hasanuddin juga banyak ditanami mahoni.
Secara historis, mahoni yang ada di Kota Donggala bukan sekadar pohon biasa yang tua dan menjulang, melainkan sebuah identitas kota tua, penanda sebuah zaman bahwa kota ini pernah menjadi salah satu pusat pemerintahan kolonial Belanda.
Jauh sebelum adanya penataan kota yang saat ini gencar dilakukan pemerintah, sesungguhnya pembangunan zaman kolonial, betapa penting suatu penghijauan bagi kawasan kota. Lanskap yang terlihat saat ini di dalam Kota Donggala dengan adanya jalur-jalur jalan kecil bentuk petak-petak sesungguhnya adalah bagian dari sejarah panjang kota niaga ini. Kota yang pernah terhubung dengan berbagai negara di belahan benua Eropa dan Asia.
Mahoni salah satu identitas, menjadi memori kolektif masyarakat yang seharusnya terjaga untuk edukasi tentang lingkungan hidup masa depan.
Menanam dan memelihara pohon memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Bayangkan saja pohon mahoni yang dipelihara lebih dari satu abad, hanya ditumbangkan dalam tiga hari. Ini sebuah ironi.
Setelah pernah terjadi pemangkasan yang dilakukan seorang warga di sekitar Jalan Lamarauna, Kota Donggala tahun 2012 lalu, kini justru penebangan atas restu lembaga pemerintah yaitu Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Donggala.
Pelaku penebangan yang mendapat restu adalah Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Donggala yang membangun kantor di area rumah dinas bank tersebut tak jauh dari pohon mahoni.
Padahal ketika terjadi pemangkasan tahun 2012 lalu, justru pihak DLH paling keras menentang dan bahkan melaporkan masalah itu ke pihak Polres Donggala.
Aksi pemangkasan dua pohon mahoni ketika itu mendapat kecaman dari sejumlah pihak baik aktivis LSM lingkungan, pihak pemerintah maupun tokoh masyarakat. Yang dijadikan acuan waktu itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam Pasal 63 Perda tersebut, menyebutkan adanya larangan melakukan penebangan, pengrusakan dan/atau yang menyebabkan rusak atau matinya tanaman pada tempat-tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau, taman kota, resapan air dan daerah sempadan sungai.
Kenapa ada larangan, karena Jalan Lamarauna itu merupakan kawasan jalur hijau yang tidak boleh dilakukan pengrusakan lingkungan hidup yang ada, termasuk penebangan pohon.
Adapun kasus penebangan mahoni antara 14-16 Februari 2023 lalu dilakukan pihak BNI berdasarkan surat rekomendasi yang diterima dari DLH Donggala tertanggal 18 Oktober 2022.
Dalam surat itu mencantumkan dua alasan. Pertama, keberadaan pohon tersebut mengganggu jaringan fasilitas umum daerah dan merusak sarana infrastruktur sekitarnya. Kedua, dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan (tumbang/roboh) karena faktor usia.
Alhasil, alasan tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari warga dan Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) Donggala.
Alasan mengganggu jaringan fasilitas umum daerah dan merusak sarana infrastruktur, dianggap tidak memiliki dasar karena tidak ada kajian atau studi yang mendalam.
Demikian pula alasan faktor usia juga dianggap tidak tepat. Kalau alasan tersebut jadi dasar rekomendasi, berarti seluruh pohon mahoni yang ada di dalam Kota Donggala semua harus ditebang karena faktor usia.
Menyatakan keberatan terhadap persetujuan DLH Kabupaten Donggala yang hanya mewajibkan pihak pemohon untuk mengganti pohon yang ditebang dengan pergantian tanaman dalam pot minimal tiga pohon, pun dinilai sangat tidak rasional.
Pergantian tanaman pohon berusia seratus tahun lebih dengan tiga tanaman dalam pot sama sekali tidak sebanding. Sekalipun puluhan atau ratusan pohon dalam pot, tetap tak sebanding.
Penanaman kembali pohon mahoni cukup sulit dan kalaupun bisa dilakukan memerlukan waktu yang lama. Ini persoalan nilai historis yang tidak seenaknya dinilai dengan hitungan pot.
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya/Wartawan Senior Media Alkhairaat