OLEH: Sahran Raden*
Dalam beberapa kesempatan, sebagai Penyelenggara Pemilu, saat Sosialisasi atau Bimtek Pencalonan DPR, DPD dan DPRD Pemilu 2019, secara masif kami selalu menyampaikan terkait dengan larangan Partai Politik menerima imbalan dalam bentuk apapun saat pencalonan. Baik itu Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau Pemilu DPR, DPD, DPRD atau pun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagaimana secara hukum diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini disampaikan sebagai bentuk pencegahan adanya praktek mahar Politik dalam proses pencalonan Pemilu dan Pilkada.
KERANGKA HUKUM LARANGAN MAHAR POLITIK DALAM UU
Sebenarnya kerangka hukum yang mengatur pemilihan itu telah cukup, yakni adanya UU 7/2017 tentang Pemilu Pasal 242, meyebutkan bahwa Ketentuan Mengenai Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pasal 228 berlaku secara Mutatis Mutandis terhadap seleksi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kab/kota. Bagaimana bunyi pasal 228, UU 7/2017, Pasal 228, berbunyi :
(1). Partai Politik Dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Presiden dan wakil Presiden
(2). Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat(1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan Calon pada periode berikutnya.
(3). Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(4). Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan pada partai politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Begitu pula pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Dalam kerangka hukum pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota itu sudah diatur larangan praktik ”mahar politik” serta apa implikasi hukumnya. Ini merupakan suatu kemajuan mengingat di masa dulu, praktik ini tidak tersentuh oleh perundang-undangan kita sehingga hanya digosipkan tanpa bisa diawasi, apalagi ditindak tegas.
MAHAR POLITIK BENTUK KECURANGAN PEMILU
Dalam banyak referensi bahwa Mahar Politik adalah pemberian imbalan berupa Uang dari seseorang calon untuk diberikan kepada Partai Politik agar Parpol dan Gabungan Parpol dapat mencalonkan pada Pemilu atau Pilkada.
Menurut Thomas Christiano dalam Money in Politics, ada empat mekanisme dasar di mana pengeluaran uang dapat mempengaruhi sistem politik: uang untuk suara, uang sebagai gatekeeper, uang sebagai sarana untuk mempengaruhi pendapat publik dan legislatif, dan uang sebagai kekuatan politik independen.
Dengan demikian, dalam politik atau pemilu selalu saja ada problem krusial mengenai peran dana politik dalam kontestasi pada pemilu dan pilkada. Problem berikutnya apakah dengan sudah adanya dasar hukum melarang beserta implikasinya, praktik mahar politik dalam setiap proses pencalonan apakah Pemilu atau Pilkada ini akan berkurang? Dan selanjutnya Apakah Badan pengawas Pemilu dan penegak hukum dapat memprosesnya hingga tuntas? Apabila praktik penyimpangan, kecurangan dalam hal ini Mahar Politik tidak tersentuh hukum, maka legitimasi proses penyelenggaraan pemilu dan pemilihan akan dipertanyakan. Proses pemilu yang kredibel menjadi fondasi bagi pemerintahan yang dipercaya publik dan memiliki legitimasi yang kuat.
Pasal 187 a, b, dan c Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memuat dua jenis kejahatan terkait uang dalam proses pemilihan, yakni politik uang dan ”mahar politik”. Pasal 187 a melarang perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu. Ketentuan tersebut sering disebut sebagai ”politik uang”. Praktik ini diancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Bukan hanya pemberi yang terkena, penerima juga terkena ancaman pidana yang sama. Ketentuan di atas beda dengan ”mahar politik”.
Sementara dalam tahapan pencalonan apakah Pemilu atau Pilkada praktik ”mahar politik” di mana orang atau lembaga memberikan imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik dalam bentuk apa pun. Di sini tidak dijelaskan untuk apa imbalan itu, hanya disebut ”dalam bentuk apa pun” dan ”dalam proses pencalonan”. Dalam praktiknya, imbalan dimaksudkan agar partai politik atau gabungan partai politik bersedia mengajukan seseorang untuk proses pencalonan, baik pada Pemilu maupun pada Pilkada. Jelas secara hukum bahwa Mahar Politik adalah bentuk kecurangan dan pelanggaran dalam pemilu. Akan tetapi kecurangan tersebut harus pula dibuktikan dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum mengikat.
Lalu, apa akibatnya jika praktik ini dilakukan dalam Pemilu dan Pilkada. Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik terbukti menerima imbalan, mereka dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya. Dengan demikian, sanksi dari praktik ”mahar politik” ini sangat berat bagi Partai Politik. Akan tetapi bagi calon tidak diatur dalam UU 7/2017.
Tentu ini jadi tantangan besar Penyelenggara Pemilu dan penegak hukum untuk menghadapinya, memprosesnya, dan menindak jika terbukti praktik ini dilakukan. Sebab apapun bentuknya Mahar Politik dalam proses pencalonan Pemilu dan Pilkada telah mencederai praktek pemilu yang demokratis dan berintegritas.
Meminjam Istilah Prof Jimmly Persoalan mahar politik dalam pilkada ini dianggap sama-sama membahayakan bagi perjalanan demokrasi, layaknya persoalan politik dinasti yang juga muncul di Indonesia. Jimly Asshiddiqie menegaskan baik politik mahar atau politik dinasti, sama-sama merusak dan membahayakan demokrasi di tanah air. Oligarki politik akan menyatu dengan oligarki ekonomi membuat demokrasi dibajak.
Karena itu, ke depan harus ada kebijakan yang mengevaluasi ini. Memisahkan antara dunia politik dengan dunia bisnis, agar pasar bebas di dunia politik tidak tercampuraduk dengan pasar bebas ekonomi. Keduanya harus dikendalikan oleh nilai-nilai norma konstitusi. Mahar Politik harus dicegah melalui kekuatan regulasi yang kuat dan mengikat pada semua pihak. Akan tetapi kekuatan regulasi tidak cukup jika tidak diikuti oleh bangunan kesadaran semua pihak terhadap efek dan bahaya Mahar Politik bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Wallahu a’alam Bisawwaf.
*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Periode 2018-2023
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.