OLEH : Dr. Sahran Raden, S.Ag., SH., MH

Ramadhan kali ini kita telah menjalani separuh dari perjalanan puasa. Kita telah berada dipuncak ramadhan.

Ibarat mendaki gunung, umat muslim yang melaksanakan puasa telah naik sampai ke puncak dan akan turun kembali ke dasar semula. Diharapkan puasa yang menjadi madrasah ruhaniah dijalankan oleh setiap muslim dapat kembali ke fitrah sebagai manusia yang suci dan bersih.

Puasa diharapkan menjadi sarana membangun komitmen dan integritas pribadi yang baik.

Hakekat ibadah puasa sesungguhnya adalah berkaitan dengan integritas individu dalam melakoni kehidupan sosialnya.

Rahasia ibadah puasa senantiasa mengajarkan tentang makna kejujuran, kebenaran, keberanian dan kesediaan menegakkan keadilan.

Proses ibadah puasa adalah perwujudan integritas ibadah sosial (hablum-minan-nas) dan nilai-nilai religiusnya (hablum-min-allah atau tauhid).

Indonesia disebut negara religius. Meskipun dalam konstitusi tidak disebutkan Indonesia sebagai negara agama, namun praktek kehidupan bernegara selalu didasarkan pada nilai nilai religiusitas keagamaan. Artinya, meski bukan negara-agama, Indonesia mengakui eksistensi agama sebagai sumber nilai kehidupan publik.

Klaim sebagai bangsa religius itu mengandung tuntutan dan keharusan penterjemahan nilai-nilai religius itu dalam kehidupan konkrit keseharian. Jadi, seharusnya kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya bangsa Indonesia diwarnai dan sejalan dengan nilai dan norma luhur agama.

Agama merupakan modal spiritual, paradigma nilai dan dasar pijakan moral dalam menghadapi tantangan dalam dinamika berbangsa dan bernegara.

Selama ini dalam praktek bernegara sering terjadi fakta adanya perilaku menyimpang dari nilai nilai moralitas dan nilai- nilai religisitas.

Idialitasnya sebagai negara berketuhanan, tercabik oleh luluh lantaknya kehidupan bernegara dengan adanya praktek korupsi, manipulasi dan penyimpangan lainnya.

Tidak saja kehidupan bermasyarakat kita yang sering terjadi tindak kekerasan, monopoli dan konflik sesama telah menjauhkan nilai nilai religiusitas dalam praktek bernegara, berbangsa dan bernegara.

Seakan ada blank spot dalam pertimbangan moral sehingga aneka tindakan sosial, politik, hukum, dan budaya dibangun di atas fondasi dan pertimbangan moral yang minim.

Hal ini menunjukkan rendahnya kualitas moral. Mengerikannya, korupsi dan penyimpangan lainnya tampak seperti “budaya.”

Budaya dalam arti, dilakukan secara sadar oleh “orang yang berbudi” atau sebagai warisan turun-temurun, dari generasi ke generasi, dari satu orde ke orde lainnya.

Selanjutnya, pertanyaan bagi kita semua apakah nilai-nilai religiusitas itu telah menulangsumsum dalam setiap pribadi warga negara terutama pribadi muslim dan mukmin.

Sejatinya puasa yang kita laksanakan sebagai sarana madrasah ruhaniah dapat menjadi pendidikan moral setiap pribadi muslim yang melaksanakannya.

Sehingga puasa ramadhan, boleh jadi sebagai katalisator dalam mengendalikan nafsu hewaniah yang ada dalam dirinya menjadi hilang, dan justru kembali lebih menonjolkan fitrahnya sebagai manusia yang bersih (clean).

Tantangan berikutnya bagi kita adalah bagaimana puasa dapat berefek terhadap kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

Salah satunya adalah efek puasa terhadap sikap Integritas bagi mereka yang berpuasa. Integritas menunjukkan konsistensi antara ucapan dan keyakinan yang tercermin dalam perbuatan sehari-hari.

Sejatinya integritas yang berakar dari nilai kejujuran, merupakan ruh bagi setiap orang atau penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Bila tidak ada ruh, maka hanya seperti mayat yang berjalan.

Pekerjaan akan dilaksanakan tanpa peduli apakah prosesnya sudah sesuai ketentuan, serta hasilnya sudah sesuai dengan harapan masyarakat.

Puasa hendaknya dijadikan sebagai wadah pendidikan pribadi atau madarasah ruhaniah yang bisa memberikan efek kebaikan bagi yang melaksanakannya.

Konsep dasar puasa adalah al imsak, menahan diri. Yang dimaksud adalah, bukan cuma sekadar menahan diri dari sesuatu yang diharamkan agama, tetapi juga menahan diri dari segala sesuatu yang dihalalkan agama.

Bahkan mereka bukan cuma sekadar menahan diri disaat ramadhan datang, tetapi juga mampu mengendalikan diri disaat ramadhan usai.

Karena itulah maka, madrasah ruhaniah pada ramadhan ini harus bisa memberikan multiplayer efect kepada setiap muslim dan muslimah, minimal menjadi insan yang mampu peka secara social, memiliki empati yang tinggi atau lebih dalamnya mampu merasakan denyut hati orang lain.

Semoga ramadhan ini, memberikan manfaat dan nilai yang jauh lebih baik lagi. *