Kita sebagai makhluk social, tidak akan bisa hidup sendiri. Bahkan, dalam masalah paling kecil sekalipun, ia akan selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Untuk itulah, Allah SWT menyuruh untuk selalu menolong sesama.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maidah [5]:2). Utang piutang, merupakan salah satu bentuk tolong-menolong.
Akhir-akhir ini kita dapat melihat betapa masyarakat kita sangat bersemangat dalam berhutang untuk mendapatkan barang keperluan dan perkara yang mereka hajatkan.
Berhutang pada sebagian orang telah menjadi budaya untuk menunjukkan kemewahan dan bermegah-megah dengan harta dan barang yang mereka miliki.
Musim perayaan, liburan dan akhir tahun, makin menjadikan dorongan untuk berhutang karena mau menampakkan kemewahan untuk mendapatkan semua yang baru, meskipun yang lama masih bagus atau barangkali hanya baru dipakai sekali atau dua kali saja.
Istilahnya biar miskin asal bergaya nampaknya makin menular dalam masyarakat dewasa ini.
Perasan atau tidak, hakikatnya masyarakat kita kini telah terperangkap dalam fenomena suka berhutang walau membahayakan dirinya , tetapi anehnya kebiasaan berhutang ini mereka anggap menunjukkkan dirinya sebagai suatu level kelas tertentu, karena mereka dipercaya oleh perbankan.
Amat pilu dan menyedihkan lagi, yang terlibat dalam fenomena ini juga adalah orang Islam yang memiliki akidah dan pegangan mereka. Hari demi hari keadaan ini makin memilukan apabila aktivitas berhutang telah menjadi asas kehidupan masyarakat dewasa ini.
Meskipun realitanya masih banyak diantara kita yang belum bisa menjalankan amanat utang-piutang itu dengan sebaik-baiknya, yakni membayar utang tepat waktu. Banyak yang beranggapan bahwa membayar utang merupakan hal sepele.
Padahal, melunasi utang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan seseorang yang berutang. Ini untuk menghindari permusuhan atau pertikaian antara kedua belah pihak.
Rasulullah SAW sendiri telah memberi peringatan bahwa amal yang baik tidak akan bisa menghapus hak orang lain. Karenanya, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW menegaskan bahwa jihad di jalan Allah SWT bisa menghapus dosa, tapi tidak bisa menghapus utang, sehingga ia tetap terkena tanggungan atasnya.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya jiwa seorang Mukmin ditangguhkan (dari hisabnya) sampai utangnya dibayar.” (HR Tarmidzi). Jika ada seseorang yang meninggal, sedangkan ia masih mempunyai tanggungan utang, maka ahli warisnyalah yang harus melunasi.
Imam Asy-Syaukani mengomentari bahwa hadis tersebut hanya berlaku bagi orang yang mampu untuk membayar utang, tapi tidak membayarnya. Adapun orang yang memang tidak mampu untuk membayar, maka ia bebas dari tanggungan itu.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang memiliki utang, namun ia benar-benar tidak mampu untuk membayarnya kemudian meninggal dunia, maka Allah SWT yang akan menanggungnya.” (HR Ath-Thabrani). Bagi mereka yang mampu membayar utang, namun ia tidak membayarnya, maka kebaikannya yang akan diambil Allah SWT untuk menutupi tanggungannya tersebut. (HR Ath-Thabrani).
Dari penjelasan di atas, seyogianya kita tidak boleh menyepelekan membayar utang. Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk melunasi dan menutup semua tanggungan sebelum ajal menjemput. Rasulullah SAW selalu berdoa, “Ya Allah saya berlindung kepada Mu dari kekufuran dan (memiliki tanggungan) utang.” (HR An-Nasa’i). Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)