PALU – Keberadaan lumpur dinilai menjadi biang kerok yang turut memberi daya dorong hingga menyebabkan kerusakan parah di wilayah pesisir akibat tsunami.
“Maka salah satu cara memperlambat datangnya tsunami adalah dengan menanam mangrove,” kata Aktivis Lingkungan, Hamzah Tjakunu saat membawakan materi literasi mangrove, pada kegiatan #Tolak Tanggul Teluk Palu, Senyawa Sujud Tanah Palu, di Perpustakaan Mini Nemu Buku, Kota Palu, Selasa (09/04).
Hamzah mengatakan, pascagempa bumi lalu, para peneliti dari Amerika mencari tahu mengapa gelombang tsunami menjadi besar.
“Hasil akhir dari penelitian mereka bahwa besarnya gelombang disebabkan adanya lumpur,” katanya.
Ketika ditelusuri, kata dia, lumpur tersebut mengendap menjadi sedimen. Sedimentasi tersebut ketika bergerak, walaupun lembut, bagian atas permukaan air turun dan meluber.
“Dari riset yang kami lakukan, selama tiga bulan proses pengulangan pergerakan sedimentasi, menemukan daerah-daerah yang wilayah manggrovenya masih utuh sumber tekanan gelombang pasangnya sangat kecil, dibanding wilayah yang tidak memiliki mangrove. Kenyataan bahwa daerah yang masih memiliki mangrove yang utuh, menambak sedimentasi dan memeliharanya menjadi bagian nutrisi biota laut,” katanya.
Olehnya, kata dia, ekososistem mangrove ini perlu dilakukan. Kalau tidak, maka sama saja memelihara lumpur untuk mempercepat potensi tsunami dari siklusnya.
“Ini bagian dari upaya kita untuk memperpanjang usia tsunami. Kepres 51 Tahun 2017, bahwa kewajiban kabupaten/kota untuk menetapkan wilayah kawasan ekosistim pesisir adalah sejauh 200 meter. Mengapa ini tidak diperjuangkan agar pemerintah memberikan areal ini untuk ditanami sehingga bisa mengurangi sedimen di masa mendatang,” tekannya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Sulteng memiliki 12 teluk dan hanya satu yang memiliki ekosistem mangrove , yakni Teluk Banggai yang masih memiliki kerapatan dan tegakan.
“Mangrove ini ada 27 jenis dengan berbagai bentuk buah. Ada buah yang jatuh menancap alami lalu tumbuh, menciptakan akar kaki jenis rizovora yang tinginya bisa mencapai 3 meter dan tancapannya sampai ke dalam lumpur,” jelasnya.
Kalaupun tidak tertancap, jelasnya, rizovora akan mati suri lalu naik perlahan-lahan di atas permukaan, tidak tenggelam dan terus bergerak selama setahun. Bila menemukan pasir maka akan tumbuh secara mandiri.
Pegiat literalisasi Neni Muhidin, mengatakan, gagasan tanggul ini lahir dari dokumen renduk yang disusun oleh Bappenas.
Dia mengatakan, Pemda harusnya jauh lebih berdaulat dari dokumen tersebut. “Kita sebenarnya menuntu revisi RTRW dipakai sebagai acuan. Pemda harus menentukan berapa meter sepadan pantai ini kita bisa membudidayakan mangrove,” tutupnya.
Gerakan ini sendiri muncul atas rencana pembangunan tanggul raksasa yang melibatkan perusahaan Jepang di sepanjang pesisir Teluk Palu untuk mencegah tsunami. (IKRAM)