PALU- Pada prinsipnya penyintas lintas generasi dan lintas peristiwa tidak menyetujui adanya tindak kekerasan. Hal itu membawa dampak psikologi tidak hilang begitu saja dalam rentang waktu singkat, bahkan perih itu akan dibawa seumur hidup. Mereka sangat merasa terluka, namun demi bangsa harus menghapus dendam.
“Peristiwa 65-66 sangat berbekas di hati dan tidak akan pernah saya lupakan,” kata Mariyam Labonu, salahsatu penyintas tragedi 1965 -1966 dalam perayaan solidaritas korban pelanggaran hak asasi manusia (SKP-HAM) Sulteng ke 17, Meretas batas notutura lintas generasi, lintas peristiwa, memaknai tuturan para penyintas dilaksanakan secara daring dan luring tempat Rumah Peduli SKP- HAM Sulteng, Jalan Basuki Rahmat, lorong Saleko II Birobuli Utara Kota Palu, Rabu (12/10).
Ia menceritakan, tahun 65, Ia bersama ketiga anaknya yang masih kecil diambil dan diamankan di tempat penahanan, sebab dituduh terlibat dalam kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Saat itu anak pertamaku berusia 4 tahun, anak kedua 2 tahun dan anak ketiga baru berusia 8 bulan,” kata Mariyam kini berusia 84 tahun.
Di tempat penahanan itu, dia tidak sendiri ada sekitar tujuh orang perempuan lainnya yang turut ditahan, dan dalam pengawasan polisi.
Tidak hanya dirinya, suaminya Abdul Rahman pun ditahan di Donggala bersama dua orang lainnya. Setelah menjalani penahanan satu tahun, suami bersama dua orang lainnya hilang tanpa kabar.
“Sampai saat ini pun tidak ada kabarnya hilang begitu saja,” tutur Mariyam.
Sebenarnya, Mariyam dapat menerima kenyataan itu, apabila melalui proses peradilan. Namun sayangnya, suaminya hilang begitu saja, tanpa kabar, tak ada jejak kuburannya bila ia sudah meninggal, dan tanpa proses peradilan.
Tidak hanya itu dialami Mariyam Labonu, sepeninggalnya dari penahanan, di lingkungan masyarakat dia kurang diterima. Dia sering mendapat perlakuan tidak baik, seperti rumah mereka tinggali dilempar, bahkan anak-anaknya mendapat stigma negatif dan cacian.
Hal itu pun diperkuat dengan penuturan Rugaiyah atau akrab dipanggil Lia, cucu Mariyam Labonu dari anak pertamanya Gagarisman.
Lia menuturkan, peristiwa 65 paling membekas dalam keluarga. Sebab pada saat itu ayahnya berusia 4 tahun mengingat dengan jelas mengejar mobil yang membawa kakeknya.
Tidak hanya itu kata Lia, ayahnya mengalami trauma, sehingga dari sisi psikologinya bila menghadapi masalah berat, tidak mampu menyelesaikan. Ada rasa marah, tidak tahu ditujukan kepada siapa.
Olehnya, dia berharap tidak akan ada lagi pelanggaran HAM terjadi di Indonesia.
Hal senada disampaikan Daniel Edward Doeka penyintas aksi terorisme bom di Maesa 2005.
Pria kelahiran Flores Nusa Tenggara Timur ini, harus kehilangan istrinya, yang sudah 19 tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya. Istrinya meninggal akibat peristiwa bom tersebut, dan terpaksa ia terus merawat dan menumbuhkembangkan empat orang anaknya.
Namun dirinya tidak terus larut dalam kesedihan. Baginya hidup terus berjalan, untuk melanjutkan kehidupan. Dirinya harus berdamai dengan hatinya sendiri, bahwa ini jalan hidup.
“Tidak ada guna balas dendam, kekerasan dibalas dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru,” katanya.
Dengan bisa berdamai pada dirinya sendiri dan kenyataan itulah, ia bisa sukses menghantarkan anak-anaknya meraih cita-cita. Dan bahkan membangun keluarga baru, dengan istri yang ketiga setelah istri keduanya juga meninggal karena penyakit leukimia. Bersama istrinya sekarang, ia terah dikaruniai anak.
Sementara Sekretaris Jenderal SKP-HAM Sulteng Nurlaela Lamasitudju mengatakan, penuturan-penuturan disampaikan penyintas, bukan untuk mengorek luka lama, konflik dan dendam.
“Tetapi menerima keadaan semua peristiwa yang terjadi, lalu menggunakan seluruh cerita kebenaran ini untuk perjuangan. Perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia, perjuangan untuk para korban mendapatkan hak-haknya, atas kebenaran keadilan dan pemulihan serta jaminan peristiwa itu tidak akan berulang,” pungkasnya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG