PALU – Yayasan Advokasi Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah (Sulteng) kembali menyoroti peristiwa longsor di lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, tadi malam.
Kejadian tragis di lokasi tambang ilegal “Vavolapo” ini mengakibatkan seorang penambang berinisial HR meninggal dunia akibat tertimbun.
Tragedi ini bukan pertama kalinya menimpa para pekerja tambang ilegal di Poboya. Baru beberapa bulan lalu, tepatnya awal Juni 2025, dua penambang tewas dalam kejadian serupa di lokasi “Kijang 30”.
“Pola yang sama terulang: longsor tiba-tiba datang, menimbun para pekerja yang sedang beraktivitas, dan merenggut nyawa dengan begitu cepat,” kata Direktur Kampanye dan Advokasi YAMMI Sulteng, Africhal Khamane’i, Jumat (10/10).
Kata dia, kejadian berulang ini menunjukkan bahwa aktivitas PETI di Poboya telah menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan memakan korban.
Kata dia, para penambang yang bekerja adalah warga yang terdesak secara ekonomi, namun mereka justru dihadapkan pada kondisi kerja yang sangat berbahaya tanpa standar keselamatan yang memadai.
“Tidak ada pengawasan, tidak ada prosedur keselamatan, dan tidak ada jaminan perlindungan bagi para pekerja,” ujarnya.
Yang lebih memprihatinkan, kata dia, aktivitas tambang ilegal ini terus beroperasi dengan leluasa meskipun telah berulang kali memakan korban jiwa.
“Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah, mengapa praktik ilegal yang membahayakan nyawa manusia ini masih dibiarkan berlangsung? Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari aktivitas tambang tanpa izin ini? Dan mengapa nyawa manusia seolah menjadi harga yang murah dalam pusaran bisnis gelap pertambangan?,” tanyanya.
Untuk itu, YAMMI Sulteng mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polresta dan Kejari Palu, serta dan instansi terkait lainnya untuk mengusut tuntas jaringan dan aktor intelektual di balik operasional PETI Poboya yang telah beroperasi bertahun-tahun tanpa izin.
“Tindak tegas para pemilik dan pengelola tambang ilegal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku tambang tanpa izin,” ujarnya.
YAMMI juga menuntut pihak berwenang untuk menutup secara permanen seluruh lokasi PETI yang ada di Poboya.
“Ungkap kemungkinan adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum aparat yang memungkinkan aktivitas ilegal ini terus berlangsung,” tegasnya.
Pihaknya memahami bahwa persoalan PETI tidak sesederhana hitam dan putih. Ada dimensi ekonomi, sosial, dan kemiskinan struktural yang melatarbelakanginya.
Namun, kata dia, membiarkan aktivitas berbahaya ini terus berlanjut dengan dalih apapun adalah bentuk ketidakberpihakan kepada keselamatan jiwa manusia.
“Tidak boleh ada lagi korban yang jatuh karena kelalaian negara dalam menegakkan hukum dan melindungi warganya,” ujarnya.
YAMMI juga mengingatkan Pemerintah Kota (Pemkot) Palu dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng untuk tidak hanya bersikap reaktif ketika korban berjatuhan, tetapi harus proaktif dalam mencegah tragedi serupa.
“Diperlukan langkah komprehensif yang tidak hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga pada pemberdayaan ekonomi masyarakat agar tidak tergantung pada aktivitas ilegal yang membahayakan nyawa mereka sendiri,” katanya.
Bahkan, kata dia, setiap hari yang berlalu tanpa tindakan tegas adalah setiap hari yang meningkatkan risiko jatuhnya korban berikutnya.
“Kita tidak boleh menunggu hingga lebih banyak keluarga kehilangan saudara, ayah, atau anak mereka dalam lumpur dan reruntuhan longsor,” ujarnya.
Ia berharap, tragedi Poboya menjadi titik balik bagi semua pihak untuk benar-benar serius dalam mengakhiri praktik PETI yang telah memakan terlalu banyak korban.
“Biarkan ini menjadi longsor terakhir yang merenggut nyawa di Poboya,” tutupnya.

 
															 
															 
							 
							 
							 
							 
							 
							 
					 
					 
					 
					 
					