PALU – Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Longki Djanggola menyinggung sejumlah perusahaan tambang pemilik smelter yang tidak memberikan kontribusi apa-apa untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Padahal, kata dia, dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor: 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian, diharapkan dapat memberikan harapan baru bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Tetapi ternyata, harapan itu tidak sesuai kenyataan,” kata Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, Sabtu (26/09).
Menurut Longki, situasi itu diperburuk lagi dengan adanya dualisme perijinan yang diberikan oleh pemerintah kepada pemilik smelter, yakni IUP–OP Khusus (Ijin Usaha Pertambangan–Operasi Produksi) yang diterbitkan Kementerian ESDM sebagaimana Permen Nomor 11 Tahun 2018, dan IUI (Ijin Usaha Industri) yang diterbitkan Kementerian Perindustrian sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 107 Tahun 2015.
Longki mengatakan, pemberlakuan IUP Khusus dengan royalti hasil pengolahan/pemurnian akan sangat menolong pemerintah daerah selaku daerah penghasil.
Namun, jika berpatokan pada IUI, maka perusahaan hanya dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) 21, PPh 22, PPh 24 dan PPh 25, tanpa ada peningkatan nilai tambah di daerah.
“Belum lagi hasil dari PPN para pekerja. Jika berkantor pusat di Jakarta, maka pajaknya langsung dibayarkan di Jakarta daerah tidak dapat,” sesal Longki.
Padahal, kata dia, jika transaksi bijih nikel berjalan sesuai aturan seperti yang tertuang dalam Permen ESDM Nomor: 11 Tahun 2020, secara otomatis akan berdampak juga ke PAD dari royalti yang dibayarkan oleh penambang sebesar 10 persen dari HPM (Harga Patokan Nikel).
“Secara tidak langsung, yang berkontribusi untuk PAD adalah penambang, karena royalti dan PPH dibebankan di hulu, yaitu di penambang bukan di smelter,” katanya.
Reporter : Ikram
Editor : Rifay