MOROWALI – Lingkar Belajar Buruh IMIP mendukung penuh aksi buruh digelar di kawasan IMIP untuk menuntut perlindungan dan perbaikan kondisi kerja, Rabu (27/12).
Koordinator Lingkar belajar Buruh IMIP, Henry menyampaikan apresiasi dan dukungannya kepada buruh menuntut perbaikan dan memperjuangkan hak-haknya.
“Tragedi ledakan di PT. ITSS pada 24 Desember lalu adalah bukti buruknya K3 dan standar prosedur operasi perlindungan keselamatan kerja bagi buruhnya,” katanya.
Ia menyebutkan, banyaknya korban meninggal dunia dan luka-luka dalam tragedi PT. ITSS, selain disebabkan terbatasnya infrastruktur jalur evakuasi menunjukkan buruknya standar mitigasi. Selain itu kelambanan penanganan para korban karena keterbatasan fasilitas klinik, tenaga medis dan ambulans sehingga berpotensi menambah korban jiwa-sampai pada 26 Desember korban meninggal menjadi 18 orang.
Menurutnya, respon manajemen IMIP atas korban meninggal dan luka-luka dengan mengubah-ubah nilai santunan, hanya bertujuan untuk menutup sesegera mungkin Tragedi PT.ITSS, agar tidak menjadi perhatian publik.
“Sebagaimana penyampaian humas IMIP di media, yang sebelumnya santunan 25 Juta, kemudian hari kedua naik menjadi 174 juta, kemudian hari ketiga menjadi 600 Juta. Selain kepentingan IMIP untuk segera menutup tragedi ITSS, perubahan nilai santunan lebih didasarkan karena tekanan dari berbagai pihak, bukan karena penghargaan dan rasa kemanusiaan pihak perusahaan kepada buruhnya menjadi korban,” bebernya.
Ia mengatakan, tidak saja masalah K3 banyak masalah lain ditemukan di Kawasan IMIP. Salah satu yang paling krusial adalah status hubungan kerja tidak jelas, buruh direkrut oleh IMIP ditempatkan di perusahaan apa saja beroperasi di Kawasan IMIP.
“Sehingga IMIP tidak saja pengelola kawasan tetapi juga sebagai penyedia tenaga kerja,” katanya.
Persoalan lanjutannya adalah buruh dapat dimutasi antar perusahaan, bahkan tidak mengubah kontrak kerja ketika sudah dipindah ke perusahaan lain.
Salah satu praktik pernah terjadi kata dia, sebagaimana PT. ITSS pada 2021, karena satu bagian ditutup dan memindahkan buruhnya sekitar 600 orang ke perusahaan IRNC tanpa melakukan penyelesaian hubungan kerja terlebih dahulu dengan PT. ITSS.
“Sialnya lagi setelah pindah di PT. IRNC mereka dipekerjakan di PT. QFF, tanpa ada perubahan kontrak kerja dengan perusahaan sekarang mempekerjakan,” katanya.
Menurutnya ada dugaan kuat praktik jual beli dan sewa tenaga kerja oleh satu perusahaan terhadap perusahaan lain berlangsung di kawasan IMIP. Selain itu menyebabkan hubungan kerja tidak jelas secara hukum.
“Belum lagi masalah tekanan kerja dengan ancaman sanksi dan denda membuat buruh tidak dapat bekerja dengan kondisi tenang, sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan kerja. Naasnya jika buruh mengalami kecelakaan kerja atau melakukan pelanggaran, mereka diberikan sanksi surat peringatan dan denda potongan upah,” paparnya.
Ia menuturkan, sementara upah buruh bekerja di IMIP dapat dikatakan upah paling rendah jika dibandingkan dengan buruh-buruh pertambangan di tempat di negara lain. Seluruh perusahaan beroperasi di IMIP hanya menerapkan upah minimum. Sementara tunjangan-tunjangan diberikan juga masih jauh dari kebutuhan ril, misal besaran tunjangan perumahan hanya 600 ribu sementara sewa kontrakan rata rata 1.2 juta.
Sama halnya dengan tunjangan keluarga hanya 100 ribu,kemudian tunjangan transportasi 150 ribu, sementara rata rata dalam satu bulan buruh bisa menghabiskan 300 ribu untuk membeli bahan bakar.
Masalah lainnya seperti tunjangan makan disediakan oleh perusahaan sangat rendah standar gizi. Bahkan pernah terjadi PHK terhadap buruh karena menyebarkan video makanan berulat.
“Tragedi ledakan di PT. ITSS dan buruknya kondisi kerja serta rendahnya perlindungan buruh. Seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap perusahaan perusahaan beroperasi IMIP,” pungkasnya.
Reporter: **/IKRAM
Editor: NANANG