PALU – Gempa bumi, tsunami dan likuifaksi melanda Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Mautong 28 September silam, menimbulkan kerusakan yang parah.
Gempa berkekuatan 7,4 SR tersebut, tidak hanya menimbulkan kerusakan infrastruktur, tapi juga melumpuhkan aktivitas perekekonomian warga.
Tercatat sebanyak 68.451 rumah dan bangunan yang mengalami kerusakan parah, 2.045 orang dinyatakan meninggal serta ribuan lainnya, hingga saat ini belum ditemukan.
Berangkat dari situasi ini, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, turut mengambil bagian dalam melakukan kerja-kerja, mulai dari tahap emergency respon dan recovery serta rekonstruksi pascabencana.
Dalam merespon tahap recovery dan rekonstruksi, Walhi Sulteng sendiri masuk mengitervensi beberapa desa terdampak, salah satunya Desa Rano yang terletak di Kabupaten Donggala dan Desa Rogo di Kabupaten Sigi.
Di Desa Rano, Walhi mengambil bagian dalam pembangunan hunian tetap (huntap) atau yang mereka istilahkan dengan Rumah Tumbuh.
Manager Divisi Kampanye Walhi Sulteng, Stevandi, Senin (18/03) mengatakan, rumah tumbuh yang dibangun di Desa Rano berjumlah 67 unit.
“Dengan metode dua tahap pembangunan, yaitu tahap pertama 25 unit dan tahap kedua 42 unit dengan ukuran masing-masing 4 kali 7 meter,” kata Stevandi.
Dia mengatakan, konsep pembangunan Rumah Tumbuh ini memiliki perspektif mitigasi bencana dan mengakomodir kebutuhan kelompok rentan serta kaum disabilitas.
“Disamping itu, kami juga membuka partisipasi masyarakat Desa Rano untuk bersama-sama dalam pengambilan keputusan sejak awal pembangunan. Sehingga terbuka ruang-ruang demokratisasi di tingkat bawah,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, pembangunan Rumah Tumbuh di Desa Rano sudah sampai tahap rekonstruksi.
Dia berharap, pada bulan Maret nanti, pembangunan Rumah Tumbuh ini dapat terselesaikan, sehingga masyarakat Desa Rano dapat menempatinya secara menyeluruh.
Dia juga mengingingkan, konsep Rumah Tumbuh ini dapat diadopsi baik oleh NGO maupun pemerintah.
Selain membangun hunian, pihaknya juga memberdayakan perempuan Desa Rano untuk membuat suatu produk lokal yang memanfaatkan potensi desa untuk kembali memulihkan ekonomi mereka pasca bencana.
Saat ini, kata dia, sudah terdapat delapan komunitas perempuan yang terbentuk di Desa Rano dan sudah melakukan produksi minyak kelapa kampung dan arang batok.
“Harapannya, produksi ini laku dan dapat meningkatkan kembali ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Sementara di Desa Rogo, lanjut dia, pihaknya memfokuskan mendorong pemberdayaan masyarakat melalui kerja sama program livelihood/pemulihan ekonomi pascabencana.
Dalam prosesnya di lapangan, kata dia, program ini telah berjalan sampai pada tahap pendampingan penanaman jagung yang dikerjakan oleh Kelompok Tani Kabelota Singgani di Dusun III Desa Rogo.
“Ada sekitar 50 anggota kelompok tani yang ikut terlibat dalam kegiatan ini, masing-masing 30 perempuan dan 20 laki laki,” urainya.
Lanjut dia, proses penanaman ini akan dilakukan secara bertahap. Lewat program ini, masyarakat Rogo, khususnya di Dusun III dapat terus mempertahankan budaya kolektif yang telah terbangun.
“Agar ke depan, pemenuhan kebutuhan dasar ekonomi secara kolektif dapat memenuhi kesenjangan dan keterpurukan ekonomi masyarakat Rogo pascabencana,” imbuhnya. (IKRAM)