“Tak Ada Makan Siang Gratis”, atau “Tidak ada yang namanya makan siang gratis” sejak lama hadir di tengah masyarakat dan dianggap semacam lelucon.
Pada 1938 sebuah artikel di El Paso Herald-Posting telah menulis ihwal yang bersinggungan dengan lelucon itu. Pada kesempatan lain, surat kabar Scripps-Howard menerbitkan artikel berjudul “Ekonomi dalam Delapan Kata”.
Dalam perkembangan hampir satu dekade berikutnya, pada tahun 1942, “Tidak ada makan siang gratis” hadir dalam artikel tahun 1942 di Oelwein Daily Register yang merujuk pada pandangan seorang ekonom, Harley L. Lutz.
Lalu pada tahun 1949, frasa ini kembali muncul dalam artikel Walter Morrow di San Francisco News dan dalam monografi Pierre Dos Utt TANSTAAFL: A Plan for a New Economic World Order yang menggambarkan sistem politik oligarki berdasarkan pada kesimpulannya dari prinsip “tidak ada makan siang gratis”.
Begitulah mulanya, sampai kemudian frasa ini muncul kembali pada milenium 21 di Indonesia dengan memenggal dua kata pada bagian depannya menjadi “Makan Siang Gratis”—sebagai program yang diinisiasi oleh tim pasangan Capres Parabowo-Gibran untuk meraih hati pemilih.
Sekalipun istilah ini awalnya muncul dan berlaku dalam konteks ekonomi, namun bukan berarti tidak berlaku pada urusan politik. Sebab dalam urusan ekonomi, orang awam juga tahu bahwa siasat politik pasti berlaku. Untung rugi akan selalu menjadi pertimbangan dalam tatanan praktis. Modal yang dikeluarkan harus seimbang, dengan pendapatan. Bahkan bisa lebih dari itu.
Rudyard Kipling dalam catatannya pada 1891, menemukan “Makan Siang Gratis” pada tradisi saloon di Amerika Serikat. Mereka sediakan makan siang “gratis” kepada pelanggan bar yang telah membeli setidaknya satu minuman. ‘Makan siang’ yang disediakan banyak mengandung garam sehingga pelanggan sudah pasti akan meminum bir terus-menerus.
Makan Siang Gratis ala Prabowo-Gibran
Politik memang serupa dua keping uang logam yang dilempar ke udara dan jatuh ke meja, lalu menunjukkan kenyataan apa yang terlihat dari masing-masing permukaannya. Menang atau kalah. Sesederhana itu sebenarnya politik, sekalipun energi untuk memastikan Kalah atau Menang itu tidak kecil.
Suatu ketika beberapa hari menjelang Pemilu 2024, saya mencoba membuat poling kecil-kecilan untuk memastikan siapa pemenang di Pilpres 2024. Ya, ini adalah poling sederhana yang hanya melibatkan tak lebih dari 30 orang mahasiswa semester awal yang saya pandu dalam kelas English for Journalist.
Cukup satu pertanyaan dilontarkan, untuk menggenapkan pandangan saya tentang apakah strategi kampanye pasangan calon itu berbanding lurus atau tidak, dengan raihan suara dalam Pilpres.
Apa yang paling kalian ingat dari program masing-masing Capres? Tanpa pikir panjang sebagian besar mahasiswa berseru, Makan Siang Gratis!
Selain itu? Kemudian para responden dari Gen-Z ini bersorak dalam nada rendah, Internet Gratis!
Dan saya pun dengan tidak butuh waktu lama menyimpulkan bahwa pemenang Pilpres 2024 adalah nomor urut 2. Bukankah semua hal yang diembel-embeli kata gratis pasti laku di negeri ini? Mendengar kata diskon saja bisa bikin ibu-ibu rela antrian di mal-mal.
Tapi tak hanya sampai di situ, saya mencoba menggali sedikit lagi, apa yang mereka tahu tentang makan gratis. Bagaimana pelaksanaannya nanti, bagaimana tata cara implementasinya? Mereka diam dalam kebingungan.
Lalu saya mencoba tanya pada sekian banyak teman dan kenalan tentang apa yang mereka temukan dalam situasi Pemilu, terutama saat menjelang voting day. Beberapa teman yang dianggap punya pengaruh di keluarga dan lingkungannya menyampaikan pernah ditawari sekian juta duit, menjadi tim pemenangan untuk membagi-bagikan duit itu.
Beberapa orang lain mengaku tak mau memilih pasangan tertentu, karena tak diberi uang. Dan beberapa lainnya mengaku dengan agak malu-malu menyatakan telah memilih pasangan tertentu karena telah menerima uang.
Ada lagi saya dengar kesaksian yang mengatakan bahwa; caleg ini sudah mengeluarkan ratusan juta tapi tidak menang. Caleg itu alhamdulillah menang tapi juga sudah menghambur ratusan juta. Ada lagi yang nyaris menang, tapi dikalahkan dengan rekan separtainya karena logistiknya sedikit. Seperti bermain judi kiw-kiw, “coba kalau dia tambah sedikit lagi modal, pasti dia menang” kata seorang kawan.
Nyaris semua obrolan tentang hasil Pemilu selalu diwarnai obrolan tentang siapa besar modal duitnya bisa menang, siapa kurang duit pasti kalah. Bisa dibayangkan, hanya di level caleg kabupaten saja duit yang harus dikucurkan sudah ratusan juta, bagaimana dengan Capres-Cawapres?
Dan apakah program dalam kampanye sudah cukup dengan dibumbuhi dengan kata Gratis untuk meraih hati para pemilih? Ternyata tidak. Menurut beberapa caleg, masyarakat saat ini sudah cukup pintar. Sudah ‘kritis’, katanya. Sekalipun mereka gampang tergoda dengan kata-kata Gratis dan semacamnya.
Kata gratis, jika dikembangkan menjadi sebuah suku kata baru dengan penambahan fikasi akan menjadi Gratifikasi. Siapakah yang cenderung melakukan gratifikasi? Tentu mereka yang punya keinginan atau kepentingan untuk mencapai sesuatu. Entah itu demi sebuah jabatan, nama besar dan sebagainya untuk mencapai mimpi seseorang.
Tapi dalam konteks Pemilu, kata ini tidak berlaku. Yang diingat hanyalah kata Gratis, seperti yang tampak pada poling kecil-kecilan tadi
Beda halnya dengan Presiden Jokowi saat awal-awal menjabat, memberikan gitar pemberian dari grup band Metalica kepada KPK karena takut dianggap hal itu termasuk gratifikasi.
Tapi apakah saat itu ia benar-benar serius untuk memberi pelajaran bagi rakyat bahwa gratifikasi itu berarti pelanggaran hukum? Walahuallam bissawaf. Sebab saat masa kampanye Pilpres kemarin, beliau juga turun langsung untuk membagi-bagikan Bansos supaya pasangan yang ia dukung bisa menang.
Lalu, apakah Anda percaya Ada Makan Siang Gratis?
Penulis: Mohamad Sahril
Sumber:
Kipling, Rudyard (1899). Catatan Amerika . Boston: Brown dan Perusahaan. P.
Shapiro, Fred (16 Juli 2009). “Kutipan Terungkap: Punchline-nya, Tolong” . The New York Times – blog Freakonomics