Morowali Utara – Serikat Petani Petasia Timur (SPPT) menolak tuduhan bahwa aktivitas panen kelapa sawit mereka ilegal. Mereka menegaskan bahwa buah sawit yang dipanen berasal dari lahan milik mereka sendiri di Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara.
Lahan tersebut diklaim oleh perusahaan PT Agro Nusa Abadi (ANA), yang memicu sengketa agraria antara para petani dan perusahaan tersebut.
Tuduhan tersebut mencuat setelah AS, didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat RMR, menyebutkan bahwa muncul berbagai masalah dalam pendampingan masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit.
Sementara itu, Eva Bande, seorang koordinator lembaga advokasi yang mendampingi SPPT, dituduh mendukung panen ilegal, meskipun AS menegaskan bahwa ia tidak pernah menyatakan demikian dalam wawancara dengan media online. Menurut AS, justru LSM RMR yang pernah memanen sawit di lahan yang diklaim oleh PT ANA.
Syahril, petani dari Desa Tompira, mengatakan bahwa perjuangan bersama Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) memberikan dampak besar bagi para petani dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.Menurutnya, FRAS, di bawah koordinasi Eva Bande, sangat berkomitmen dalam mengawal kasus ini.
“Sejak awal kami memiliki bukti hak kepemilikan tanah. Kami sudah berkebun di sini jauh sebelum perusahaan datang,” ujar Syahril Selasa (29/10). Syahril pernah ditangkap dan ditahan selama dua bulan karena memperjuangkan lahannya yang terancam.
Ambo Tang, perwakilan SPPT dari Desa Bungintimbe, menyatakan bahwa sejak 2021, FRAS membantu para petani menyuarakan tuntutan mereka melalui berbagai aksi massa, baik di tingkat Pemerintah Kabupaten maupun Provinsi.
“Sejak bersama FRAS, kami merasa memiliki kekuatan untuk mendesak pemerintah segera menyelesaikan pelepasan lahan,” katanya.
Di sisi lain, Samsul, juga pimpinan SPPT Desa Tompira, menyoroti upaya pihak tertentu untuk menyudutkan perjuangan mereka. Samsul menegaskan bahwa tuduhan panen ilegal hanyalah cara untuk meredam suara para petani.
“Apakah mereka yang menyudutkan perjuangan kami pernah mendukung kami dari awal untuk memperjuangkan hak kami?” ujarnya mempertanyakan.
FRAS sendiri mengakui tidak memiliki kewenangan menyelesaikan konflik agraria secara hukum. Namun, FRAS terus mendampingi para petani, mendorong negara untuk mengambil peran dalam penyelesaian sengketa agraria secara struktural. Selain itu, FRAS juga membantu mengadvokasi para petani yang dituduh mencuri buah sawit milik PT ANA.
Para petani juga menuntut evaluasi terhadap PT ANA, yang sudah beroperasi selama sekitar 17 tahun namun diduga belum memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU).
“Mengapa kami terus disalahkan, sementara perusahaan yang belum memiliki HGU dibiarkan beroperasi tanpa sanksi?” tutup Samsul, menyuarakan aspirasi para petani yang berharap akan adanya tindakan dari pihak berwenang terhadap PT ANA.
Reporter : **/IKRAM