Larangan Napi Korupsi Mencalonkan Diri dalam Pemilu 2019

oleh -
Sahran Raden

OLEH: Sahran Raden*

Menjelang pelaksanaan pendaftaran Calon  Anggota DPR dan DPRD untuk Pemilu 2019, sesuai Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program dan jadwal Pemilu 2019, bahwa pendaftaran Calon Anggota DPR dan DPRD dilaksanakan pada tanggal 4-17 Juli 2019, belum diundangkannya Peraturan KPU tentang Pencalonan disebabkan oleh Menteri Hukum dan HAM tidak mau menandatangani untuk mengundangkan PKPU Tersebut karena masih adanya norma pasal 8 huruf j, bahwa syarat calon anggota DPR dan DPRD bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi.

Pasal ini yang sampai ini menjadi polemik sehingga Kemenkumham mengembalikan Draft Usulan PKPU ke KPU, padahal fungsi Kemenkumham dalam pembuatan peraturan hanyalah mengadministrasikan peraturan sampai dengan mengundangkannya tidak memiliki kewenangan untuk menolak suatu peraturan yang telah dibahas oleh lembaga lain. Hal ini berbeda dengan Syarat Calon anggota DPD norma bunyi pasal yang serupa tidak ditolak oleh Kemenkumham dan tidak menjadi polemik bagi publik.

Meski demikian dengan kemandirian dan  Independensi KPU  tetap  ingin memberlakukan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi Calon Legislatif (Caleg) yang akan diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). KPU, beranggapan bahwa mantan napi korupsi tidak layak menduduki jabatan publik karena telah berkhianat terhadap jabatan sebelumnya. Sikap KPU ini dalam perkembangannya menimbulkan polemik. Hampir semua partai politik menolak wacana ini, dan menganggap bahwa KPU menyalahi Undang-Undang.

Selain itu, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga tidak setuju dengan wacana tersebut. baik Bawaslu maupun DKPP berpandangan bahwa  mantan napi korupsi tetap punya hak yang sama untuk dipilih dalam kontestasi demokrasi selama hak politiknya tidak dicabut pengadilan. Selain Bawaslu dan DKPP beranggapan bahwa   Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menganulir larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai peserta pemilu pada tahun 2014.

LANDASAN KPU DALAM MEMBENTUK NORMA PKPU PENCALONAN

Dalam pembentukan suatu peraturan perundang undangan atau peraturan lainnya, Tdk terlepas dari prinsip prinsip landasan dalam membentuk materi  muatan suatu peraturan. Paling tidak landasan tersebut yakni menggunakan Landasan  filosofis, sosiologis dan yuridis.

Landasan Filosofis, sosiologis, dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Unsur filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

‌Secara filosofis bahwa Korupsi merupakan  perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak.

‌Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

‌Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Jika dilihat secara sosiologis, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.

Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson  menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.

Kemudian unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Terkait dengan larangan NAPI mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPRD memang tidak diatur secara normanya dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. akan tetapi  UU 7/2017 Pasal 240 memberi pengaturan  bahwa seorang mantan terpidana yang dipidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai caleg selama ia mengumumkan kepada publik terkait statusnya sebagai mantan terpidana.

Sebenarnya dalam konteks asas pembentukan peraturan yang terkait dengan aspek penting dari pembentukan Peraturan KPU telah memenuhi syarat. Misalnya saja terkait dengan aspek hukum, aspek kelembagaan pembentuknya dan aspek kesadaran hukum masyarakat.

Dari aspek hukum, bahwa tentu saja KPU dalam menyusun norma pertautan KPU Pencalonan telah didasarkan pada ketentuan normatif bahwa menjunjung prinsip prinsip negara hukum dapat diaktualisasikan pada peraturan pencalonan anggota legislatif pada pemilu 2019.

Dari sisi kelembagaan bahwa KPU adalah komisi yang diberi kewenangan oleh UUD maupun UU untuk mengatur teknis pemilu. Dengan demikian KPU dengan prinsip kemandirian dan Independensinya berwenang untuk.mengatur peraturan teknis terkait dengan pencalonan termasuk syaratnya. Dilakukan secara terbuka menginput semua pandangan masyarakat yang berkembang saat proses penyusunan Draft Peraturan KPU Pencalonan untuk memenuhi aspek kesadaran hukum masyarakat.

ANALISIS PEMBENTUKAN HUKUMNYA

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Pasal 7 ayat (1) , jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah;
  • Peraturan Presiden;
  • Peraturan Daerah Provinsi; dan
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 di atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya.

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.  Salah satu asas di atas yaitu asas dapat dilaksanakan yang memiliki arti bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang normanya mengandung hukum dan nilai moral. Mengandung hukum karena didalam peraturan ini berisikan perintah, larangan, kebolehan, penghargaan dan sanksi yang tegas sebagai unsurnya. Mengandung nilai moral, karena didalam setiap klausulanya terkandung nilai kebenaran sejati, nilai keadilan hakiki dan nilai kesusilaan. Maka dengan demikian, nilai moral perlu dimanivestasikan kedalam bentuk rumusan norma yang proporsional yaitu seimbang antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan sanksi harus bernungsa edukatif yang secara prospektif mampu menekan kejahatan dan atau pelanggaran sampai sekecil kecilnya.

‌Bahwa larangan NAPI Korupsi untuk ikut serta dalam pencalonan pemilu bukanlah membatasi hak setiap warga negara untuk ikut dalam pemilihan Umum akan tetapi melihat aspek filosofis dan sosiologis dimana KPU memulai dalam penerapan pemerintahan yang bersih dan berwibawah itu dimulai dari seleksi dan rekruitmennya. Hal ini sebagai cara dan bentuk KPU dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dimana Korupsi telah melampaui batas dan telah menjadi perilaku dan tindak pidana kejahatan yang luar biasa, yang penanganannya juga harus luar biasa. Jika kemudian PKPU ini diundangkan dan tidak disetujui oleh pihak pihak tertentu maka dapat diuji di Mahkamah Agung sesuai dengan UU. ***

*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2018-2023.