Gemal-gemal padi menumpuk dalam genggaman dua perempuan, lengkap dengan toba mereka, pakaian adat suku Kulawi. Di hadapan mereka, asap kemenyan mengepul dari tempurung, mengharumkan udara.
Said Tolao duduk bersila, bibirnya komat-kamit melafalkan syair doa-doa. Seperti padi yang siap panen, orang-orang mulai merunduk, hanyut dalam bait demi bait gane-gane (mantra) berbahasa Kulawi dialek mouma.
Di sekitar Said Tolao dan dua perempuan adat yang duduk bersila, orang-orang membentuk lingkaran. Mereka mengenakan pakaian adat yang beragam, mulai dari toba hingga halili kain kulit kayu, lengkap dengan ikat kepala siga dan talienu. Masyarakat adat suku Kulawi yang tinggal di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, telah menempuh perjalanan empat jam dari Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah untuk hadir di tempat ini.
Desa ini, yang oleh orang lokal disebut Ngata Toro, adalah sebuah kampung tua, bekas sisa peperangan antar daerah. Bagi masyarakat Ngata Toro, hari itu, Kamis (29/08) adalah hari yang paling dinantikan. Sebuah rumah adat, tempat peradilan adat, akhirnya berdiri kembali melalui prosesi Mompede Lobo atau peresmian rumah adat Lobo. Rumah adat ini telah rubuh sejak bencana gempa pada tahun 2018 lalu, dan kini tegak kembali, menjadi simbol kebangkitan.
Namun lebih dari itu, prosesi Mompede Lobo ini terasa semakin istimewa karena diiringi dengan perayaan yang telah lama dirindukan, rego wunca.
Said Tolao yang memimpin doa-doa pendahulu kemudian melanjutkan dengan menarikan rego wunca, sebuah tarian tradisional sebagai ungkapan syukur atas berkah alam yang melimpah.
Menurut Said Tolao, ada tujuh syair utama dalam tarian rego wunca, semuanya berbahasa Kulawi dialek mouma asli yang diwariskan turun-temurun. Salah satu syairnya berbunyi.
“Wua masumala tumai mantako
Ratodengkalae maku bula
Liwo tesenamo ncario dala
Buranga ntua rapotalilika
Sawa langi mombewe ripuna
Mokaso walo mo’ata dopi
Mparawaturea mengkomogugi”
“Syair ini berisi ajakan supaya semua manusia menjaga alam, bukan merusaknya,” jelas Said kepada wartawan.
Syair-syair rego wunca, dinyanyikan melingkari padi-padi dan hasil bumi. Setiap pelaku tari akan berpasangan-pasangan, merangkul bahu pasangannya tanpa memandang usia, agama, atau ras, sembari melantunkan syair.
Rukmini, Tina Ngata atau kepala kampung perempuan Desa Toro, menjelaskan bahwa wunca begitu dirindukan oleh masyarakat karena telah 15 tahun tidak dilakukan. Ada keyakinan bahwa bencana gagal panen yang melanda petani belakangan ini adalah bentuk teguran atas kelalaian menjaga alam dan budaya di Ngata Toro.
“Kami sedang ditegur, lewat tanaman yang gagal panen dan produksi tanaman menurun beberapa tahun terakhir. Orang tua kita dulu sangat arif, tidak hanya tahu mengambil sesuatu dari alam, tetapi juga tahu berterima kasih melalui wunca,” ungkap Rukmini di hadapan masyarakatnya.
Krisis iklim global juga mempengaruhi desa kecil di Kabupaten Sigi yang dikelilingi pegunungan. Rukmini mengungkapkan bahwa lahan miliknya dulu bisa memproduksi 500 hingga 800 Kg padi setiap kali panen, tetapi pada tahun 2023 lalu, hanya menghasilkan 46 ton saja.
Siang itu, langit cerah dan sejuk, mengajak warga Ngata Toro bersorak. Prosesi adat wunca pun pecah setelah anak-anak berebut makanan yang disematkan di pohon bambu. Orang-orang tidak hanya berbagi makanan, tetapi juga senyuman dan pelukan. Hari itu, di Ngata Toro, setelah 15 tahun senyap, lantunan rego wunca kembali menggema, menembus langit yang biru, seolah mengingatkan mereka akan harmoni antara manusia dan alam yang harus terus terjaga.
Penulis : Mun
Editor : Yamin