DONGGALA sebagai kota tua yang pernah menjadi pusat perdagangan selama berabad-abad juga menjadi tujuan para pedagang Arab sekaligus melakukan siar agama Islam. Di antara peninggalan komunitas etnis Arab yang cukup dikenal di Donggala adalah sebuah mushola berusia puluhan tahun. Namanya Mushola At-Taqwa, yang oleh masyarakat setempat lebih popular dengan sebutan Langgar Arab. Dibangun dengan swadaya tokoh-tokoh saudagar Arab yang cukup terkenal di Donggala masa lampau, langgar ini memiliki peran dalam pembangunan, di ataranaya keluarga besar Husen Badjamal dan Badjeber.
Selama bulan Ramadan ini, Langgar Arab makin semarak sebagai tempat sholat tarawih. Bangunannya tidak terlalu besar dan sedikit tersembunyi dari permukiman warga, karena berada di atara lorong menuju sebuah gudang kopra. Posisi di belakang rumah warga, tak jauh dari Pos Jaga Angkatan Laut, yaitu di tepi pantai area pelabuhan, Kelurahan Labuan Bajo Kecamatan Banawa.
Soal berapa usia pastinya, tidak begitu diketahui, namun menurut Farid Badjeber (57 tahun) salah satu warga yang tak jauh dari kawasan mushola, diperkirakan sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu.
“Saya tidak tahu persis berapa usia mushola itu dan tahun berapa didirikan. Yang jelas sudah cukup tua dan menurut informasi yang saya peroleh bangunan yang ada saat ini merupakan bangunan kedua, karena yang pertama hancur saat kota Donggala dibom, sehingga kembali dibangun hingga terlihat seperti sekarang. Konon seperti itu informasinya,” kata Farid yang masih keturunan saudagar Arab Donggala yang ditemui, Kamis (1/6) kemarin.
Ketika ia masih kanak-kanak, kata Farid, mushola itu sudah ada dan ramai dengan jamaah. Ukuran bangunan tidak terlalu besar hanya menampung sekitar 70-an jamaah.
Bangunan mushola sangat sederhana model panggung dengan tiang-tiang penyangga berbahan kayu ulin terpancang di tepi pantai. Lantai dan dindingnya semua terbuat dari bahan kayu, kecuali atapnya terbuat dari seng yang semula beratap sirap.
Pada saat pembangunan awal, untuk menuju ruang mushola para jamaah melewati jembatan penghubung karena berdiri di atas air (yang saat ini dikenal masjid terapung). Namun kemudian agar halamannya lebih luas dan dapat menjadi tempat parkir sehingga dilakukan penimbunan tanpa ada jembatan penghubung.
“Ketika saya masih sekolah dasar, bangunan langgar Arab itu sudah ada dan bentuknya seperti itu, pernah direnovasi tanpa mengubah bentuk aslinya. Bila ada kayunya lapuk hanya diperbaiki dan orang tua saya zaman dahulu yang bekerja sebagai tukang kayu, pernah mengerjakan bagian-bagian masjid tersebut,” kata Abdullah Yahya Soumena (63 tahun).
Abdullah Yahya yang kediamannya tak jauh dari Langgar Arab, juga jadi saksi terhadap rumah ibadah tersebut yang memperkirakan bangunan tersebut usianya sudah puluhan tahun, bahkan mungkin ratusan tahun sudah ada, ketika aktivitas pelabuhan Donggala masih ramai.
***
Kedatangan orang Arab di Donggala telah terjadi ratusan tahun silam melakukan beragam aktivitas perniagaan secara turun temurun. Bahkan eksistensinya kelak familiar dikenal sebagai “Arab Donggala” yang menunjukkan penyatuan secara lokalitas dalam pembauran.
Hingga pertengahan dekade 1950-an ada ratusan orang Arab menetap di Donggala sebagian mereka masih dalam kategori warga Negara Asing dan kelak kebanyakan masuk sebagai warga Negara Indonesia. Terutama yang telah menetap melakukan perniagaan.
Dalam perkembangannya, seiring meredupnya pelabuhan dan perdagangan Donggala, satu persatu saudagar Arab meninggalkan Donggala. Terutama sejak akhir dekade 1970-an saat lumpuhnya aktivitas perekonomian yang bersumber di pelabuhan.
Mereka umumnya mengembangkan usaha di Kota Palu, Surabaya, Kalimantan dan beberapa kota lainnya.
Dapat dikatakan kini tinggal beberapa kepala keluarga komunitas etnis Arab yang bertahan di Donggala. Mereka ada yang membuka usaha toko pakaian, mengelola taman pengajian, bergerak di bidang usaha kontraktor dan lainnya.
Sedangkan para saudagar kaya zaman dahulu, kini hanya meninggalkan jejak-jejak sisa kejayaan berupa bangunan-bangunan toko dan rumah yang sudah berusia tua dan tak terawat. (JAMRIN ABUBAKAR/MAL)