Kurban adalah ibadah besar. Begitu  besar dan sakralnya perayaan Idul Adha. Umat Islam selalu menyambutnya dengan gegap gempita dan penuh suka cita.

Lantunan takbir menjelang Idul Adha selalu bergemuruh dan menggema menembus langit-langit dunia mengiringi perginya senja, tanda hari pelaksanaan salat Idul Adha. Sekaligus mengawal sembelihan hewan kurban yang menjadi hari raya ini. Umat Islam pun tenggelam ke dalam ceruk penghayatan ritus ibadah yang sarat makna.

Meningkatnya kesadaran religius umat Islam yang ditandai dengan menggelembungnya kuantitas hewan kurban tentu merupakan fenomena yang menggembirakan. Namun apakah diiringi dengan peningkatan kualitas moral manusianya?

Walaupun kita telah berqurban setiap tahunnya dengan menyembelih unta, sapi atau lainnya, maka qurban itu baru bernilai dari keikhlasan kita, karena apa yang kita qurbankan, darah qurban, daging qurban, kulit qurban, dan bulu-bulu binatang qurban itu tidak pernah sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada Allah adalah nilai keikhlasan kita dalam berqurban.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapai-Nya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”, (Q.S Al Hajj: 37).

Dalam menyampaikan nilai qurban kepada Allah adalah nilai ikhlas dan takwa seseorang, bukan apa yang telah ia qurbankan, sehingga seorang yang berqurban seekor kambing akan sama nilainya dengan orang yang berqurban unta, bila sama-sama memiliki keikhlasan yang sama.

“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”, (QS Al Hajj: 32).

Jangan sampai ibadah qurban ini dikotori oleh noda-noda riya’ (ingin pamer dengan sengaja memperlihatkan amalan tersebut kepada orang lain), atau kotoran sum’ah (sengaja menebarkan amalan yang ia perbuat agar orang lain mendengarnya).

Demikian juga jangan sampai menjalankan ibadah qurban hanya semata-mata karena menjaga adat, tradisi, dan kebiasaan keluarganya sejak dahulu. Ini semua adalah niat yang tidak benar dan harus dijauhi.

Di samping itu, ia harus membuang jauh-jauh sikap dan perasaan bangga diri, sombong, dan merendahkan saudaranya yang belum diberi kelapangan oleh Allah untuk berqurban.

“Yang dikehendaki dari ibadah qurban di sini bukanlah semata-mata menyembelih saja, daging-daging dan darah-darah hewan qurban itu tidak akan sampai kepada Allah sedikitpun, karena Dia adalah Dzat yang Maha Kaya dan Maha Terpuji. Namun yang sampai kepada Allah adalah keikhlasan, pengharapan dalam meraih pahala, serta niat yang baik ketika menyembelih qurban. Oleh karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan dalam ayat-Nya,“Tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapai-Nya” (Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di).

Termasuk dalam keikhlasan seseorang dalam berqurban yaitu dengan memilih hewan yang diqurbankan itu adalah hewan yang bagus, cantik, bersih, dan indah dipandang mata.

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua dan tidak diterima dari yang lain. Ia (putra Nabi Adam yang tidak diterima kurbannya) berkata: “Aku pasti membunuhmu!” Berkata pula (putra Nabi Adam yang diterima kurbannya): “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q. S Al-Maidah: 27). Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)