PALU – Salmin Hedar, SH, selaku kuasa hukum tersangka peretasan website Universitas Tadulako (Untad), menilai adanya kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut.
Salmin yang ditemui di kantornya, Senin (15/03), mengungkapkan, jika benar terjadi peretasan yang melibatkan kliennya (MY dan RA) sejak Desember 2015, mengapa kasus tersebut baru dilaporkan pada November 2020.
“Itu artinya ada pembiaran. Padahal peretasan tersebut atas sepengetahuan pihak pengelola system IT Untad, dalam hal ini petugas keamanan informasi IT Untad,” ujar Ketua Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Sulawesi Tengah itu.
Ia menyatakan, jika benar fakta/bukti yang ditemukan, yakni terkait adanya indikasi keterlibatan oknum internal Untad, khususnya pihak penanggung jawab/pengelola keamaman informasi IT, maka seharusnya oknum tersebut juga bertanggung jawab secara pidana.
“Namun ini tidak terungkap dalam kasus tersebut. Padahal oknum yang bersangkutan diberi tugas dan tanggung jawab mengawasi beroperasinya sistem elektronik milik Untad yang mengetahui jejak digital peretasan yang ada dalam server,” sebutnya.
Ia pun menyayangkan mengapa fakta hukum ini tidak diungkap dalam kasus tersebut. Ia juga menilai, adanya peristiwa peretasan tersebut menunjukan bahwa sistem yang ada di Untad tidak dikelola secara profesional dan menimbulkan ketidaknyamanan sivitas akademika Untad sendiri.
Terkait kasus yang dimaksud, Salmin pun menyampaikan perihal adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sebagai penjabaran dari Undang-Indang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor: 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor: 19 Tahun 2016 tentang ITE.
“Dalam pasal 5 ayat 1 PP tersebut menyatakan penyelenggara sistem elektronik wajib memastikan sistem elektroniknya tidak memuat informasi elektronik dan/atau dokumen elekronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan undang-undang,” jelasnya.
Selanjutnya, kata dia, di pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa penyelenggara sistem elektronik harus menerapkan tata kelola sistem elektronik yang baik dan akuntabel. Hal ini juga diatur dalam pasal 15 Undang-undang ITE yang memberikan kewajiban bagi setiap penyelenggara untuk menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya.
“Terhadap pelanggaran sebagaimana tersebut, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dapat memberikan sanksi administratif terhadap penyelenggara, dalam hal ini Untad berupa teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, pemutusan akses dan/atau dikeluarkan dari daftar,” ungkapnya.
Artinya, kata dia, Mendikbud dapat saja memberikan sanksi administratif kepada Untad karena kegagalan IT-nya, sebagaimana ketentuan tersebut yang bersifat alternatif.
“Ini terlepas dari adanya tanggung jawab pidana dalam kasus tersebut yang tentu akan dibuktikan di Pengadilan Negeri Palu,” tekannya.
Ia juga menyayangkan tidak dilakukannya uji forensik digital yang bertujuan menganalisis bukti digital serta untuk memperoleh berbagai fakta yang objektif dari peristiwa peretasan yang dituduhkan kepada kliennya.
Menurutnya, uji forensik digital juga harus dilakukan untuk menemukan dan membuktikan keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut, yaitu penanggung jawab kunci/password IT Untad.
“Seharusnya yang bersangkutan itulah yang terlebih dahulu diperiksa oleh penyidik,” katanya.
Selain itu, kata dia, hal ini juga untuk memastikan berapa mahasiswa yang diubah nilainya dan juga berapa calon mahasiswa yang diloloskan masuk Untad serta UKT (kerugian materil).
“Karena semua data tersebut ada dalam server. Namun sangat disayangkan tidak dilakukan uji forensik digital. Hal ini penting untuk membongkar peristiwa tersebut, kalau memang benar ada niat untuk memperbaiki sistem IT Untad ke depan,” katanya.
Pernyataan ini juga disampaikan Salmin untuk men mengkarifikasi sejumlah pemberitaan di media yang memojokan kliennya seolah-olah sebagai pelaku utama sebagaimana yang dituduhkan melanggar pasal 35 Jo Pasal 51 ayat (1) dan/atau Pasal 30 ayat (3) Jo Pasal 46 dan/atau Pasal 32 ayat (1) Jo Pasal 48 UU ITE Jo Pasal 55 ayat (1) dan/atau Pasal 56 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, Direktur Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sulteng, Kombes Pol. Afrizal mengatakan, website Untad mudah dijebol karena tingkat keamanannya rendah dan tidak pernah diupgrade.
Afrizal mengatakan, bila tidak dilakukan peningkatan pengamanan pada website, maka bisa menurunkan kualitas mahasiswa yang dihasilkan dari perguruan tinggi tersebut, sebab nilainya bisa diatur para peretas dan menurunkan kredibilitas serta nama baik perguruan tinggi. (RIFAY)