PALU- Kasus dugaan korupsi pengadaan finger print Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Donggala 2018 menjerat Ety Labande Lasiha dan Najamuddin Laganing sebagai tersangka, kini dilimpahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Donggala ke Pengadilan Negeri Kelas 1 A PHI/Tipikor/Palu.
Dari website https://pn-palu.go.id/ perkara tersebut dilimpahkan pada Selasa 15 November 2022. Dan jadwal sidang perdana pada Selasa 22 November 2022 mendatang.
Najamuddin Laganing melalui Kuasa Hukumnya, Frans Lading, mengatakan, bahwa kliennya ditetapkan tersangka oleh Penyidik Tipikor Polres Donggala dengan Pasal 2 Jo Pasal 3 Undang- Undang Tipikor.
Selaku kuasa hukum Frans Lading menilai bahwa penetapan kliennya ini sampai P 21 ke tahap 2 sangat prematur dan janggal.
Menurutnya, kejanggalan itu antara lain penerapan pasal 2 dan pasal 3 tidak sinkron dengan berita acara pemeriksaan (BAP). Kliennya dalam penggunaan anggaran BOS untuk pembelian alat absensi finger print SD di 5 Kecamatan di Kabupaten Donggala sama sekali tidak ada kaitannya,.
Frans Lading menjelaskan, pengaturan adanya pasal 2 dan pasal 3 dalam UU Nomor 31 tahun 1999 adalah untuk membedakan mereka yang pegawai negeri dan bukan pegawai negeri, yaitu ketentuan pasal 3 ditujukan untuk mereka yang tergolong pegawai negeri yang memiliki jabatan atau kewenangan. Sedangkan ketentuan pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 diperuntukkan bagi mereka yang tergolong bukan pegawai negeri atau perorangan swasta.
Frans Lading menegaskan addresat pasal 3 yaitu, dengan kata-kata “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan..” yang menunjukkan bahwa subjek delik pada pasal 3 harus memenuhi kualitas sebagai pejabat atau mempunyai kedudukan”.
Olehnya, jika kita kaitkan dengan jabatan atau kewenangan yang dimiliki kliennya kata dia, tidak ada hubungannya, Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah posisi kliennya sebagai Sekertaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Kabupaten Donggala berdasarkan SK dan Jukdis Pengarah adalah Bupati dan Penanggung Jawab adalah Kepala Dinas Pendidikan. Dan kuasa pengguna anggaran itu adalah semua kepala sekolah.
“Ada 95 kepala sekolah di lima kecamatan di Kabupaten Donggala berkontrak dengan kontraktor sebagai pengadaan alat absensi finger print SD tersebut,” bebernya.
Fatalnya sebutnya, ada BAP tambahan terakhir yang katanya ada pernyataan dari oknum kontraktor pada intinya adalah pernah memberikan uang kepada kliennya sebesar Rp 30 Juta.
“Nah saya tidak tau nih, apakah penyidik pura-pura tidak tau jika ada informasi seperti itu harus digali agar informasi itu terang benderang nah sekarang ada orang menuduh klien saya pernah memberikan uang, tapi harusnya jelas tujuannya pemberian Uang itu untuk apa ??? Penyidik mempunyai kewenangan untuk mengembangkan dong, dimana diberikan, siapa yang melihat ,untuk kepentingan apa? Kemudian harus jelas apa hubungannya dengan pengadaan pembelian alat absensi Finger Print dengan pemberian uang kepada klien kami,??? Kemudian penyidik sudah tau atau mendapat informasi bahwa ada pemberian uang, lha kenapa tidak memproses orang yang memberikan uang? Kenapa orang yang mengaku memberikan tidak diproses??? Kan jelas pasal suap dan gratifikasi pemberi dan penerima harus diproses dong ??? Yah saya tidak tau apakah penyidik pahami atau tidak,” tulis Frans dalam pesan whatsapp0nya.
Olehnya Ia menekankan, kliennya tidak pernah menerima uang dari kontraktor dan melakukan intervensi kepada kepala sekolah.
Anehnya lagi menurutnya, kerugian negara total loss. Padahal kontrak per setiap kepala sekolah itu dengan kontraktor pengadaan absensi itu hanya Rp3 Juta.
“Kami jelaskan juga bahwa barang atau absensi itu ada, ada yang dipasang ada yang tidak. Masalah tidak dipasang bukan karena rusak barangnya, namun yah tergantung kepala sekolahnya, kerugian negara ditotalkan sekitar Rp235 juta,” ujarnya.
Ia menegaskan, kliennya tidak pernah melakukan intervensi atau komunikasi dengan kepala sekolah untuk meminta menunjuk pihak ke 3 atau kontraktor tertentu.
“Kasus ini naik sidik 2019 penetapan klien kami sebagai tersangka 07 Juli 2022, ” sebutnya.
Frans juga sangat menyayangkan tindakan penyidik, menyita mobil yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana.
Selain itu dia menyesalkan bahwa penyidik 9 November 2022 malam masih memenuhi P19 Jaksa, tanggal 10 pukul 1.00 WITA malam penyidik P 21 Tahap 2.
“Fatalnya tidak ada pemberitahuan penyidik ke kami sebagai kuasa hukum/penasihat hukum jika ada P21 Tahap 2 tanggal 10 November 2022 tersebut. Dan P21 tahap 2 kami tidak lakukan pendampingan karena kesannya dipercepat,” imbuhnya.
Dari itu da melayangkan surat kepada Kejati Sulteng dan Pengawas Jaksa di Kejagung untuk mengikuti proses hukum ini.
“Kami tidak mau hukum dicampuradukkan dengan masalah lain. Hukum ya hukum,” katanya.
Frans Lading yang sudah beberapa kali membebaskan tersangka korupsi ini menambahkan, bahwa ia siap adu argumen dan bukti dengan jaksa, apakah kliennya ini.
“Hakim Tipikor PN Palu itu hakim hebat-hebat, kami pastikan akan profesional tanpa beban untuk mengadili kasus ini,” pungkasnya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG