OLEH : Jamaluddin Mariajang
Kisah Lukman Al-Hakim dalam Al-Qur’an memberikan pelajaran hidup pada masyarakat dan individu di manapun.
Perjalanan hidup adalah proses kehidupan dimana seseorang atau kelompok mengejar tujuan hidup mereka.
Peristiwa Lukman Al-Hakim adalah episode sederhana tentang perjalanan hidup manusia yang dinukil dalam kitab suci.
Pengetahuan umum memahamkan kita bahwa setiap orang siapapun yang masuk dalam pergaulan sosial, oleh karena memerankan dirinya bagian dari kegiatan publik, pastilah sejak itu ia tak dapat menghindarkan diri dari penilaian orang sekitarnya. Tentu, jika dalam hal pribadi, maka seseorang kurang atau bahkan tidak sama sekali mendapat tanggapan evaluatif dari orang lain. Seperti penderita sakit jiwa cenderung dibiarkan begitu saja kendati telanjang mempertontonkan alat vitalnya di depan orang.
Kembali pada episode Lukman Al-Hakim. Orang sedang menyaksikan dia, anaknya dan seekor keledai melakukan sebuah perjalanan untuk mencapai suatu tujuan. Jelas dalam perjalan ini terjadi distribusi dan differensiasi peran sosial.
Pertanyaan pertama yang muncul bagi setiap orang yang menyaksikannya ialah kemana tujuan perjalanan mereka. Kedua, apa saja peran dari ketiga subjek itu untuk mendukung pencapaian tujuan. Ketiga, bagaimana mereka memainkan peran peran itu.
Setiap peran mengandung makna adanya kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menjalankan tugas yang diberikan padanya, supaya mengangkat atau memikul sebagian beban yang diharap mampu ia selesaikan. Disinilah sesorang mulai dipertanyakan kemampuannya melaksanakan suatu tugas berdasarkan bobot perannya. Pada posisi inilah timbul apa yang disebut dengan TANGGUNG JAWAB sesuai peran yang diembannya.
Orang bijak berkata semakin tinggi bobot peran yang dimiliki seseorang, maka semakin besar tanggung jawab yang menyertainya. Tetapi hal penting dari tanggung jawab itu ialah bukan berapa besar bobot peran/ tugas yang harus mampu dikerjakannya, tetapi harapan orang yang menggantungkan nasibnya pada tanggungjawab seorang pemimpin di level sosial manapun.
Bobot peran seorang Ketua RT tentu sangat amat jauh perbedaannya dengan presiden. Maka, bobot tanggungjawabnya pun berbeda. Presiden lebih besar tanggungjawabnya dari seorang RT. Tetapi ketika seorang RT menyaksikan seorang warganya menderita BUSUNG LAPAR dengan linangan air mata, lalu nyawanya terancam mati, maka ketergantungan harapan terhadap keselamatan orang itu lebih besar kepada RT dari pada presiden. Pada saat itu tanggung jawab terhadap harapan hidup korban itu lebih tinggi pada RT dari pada presiden.
Demi tanggung jawab terhadap warganya seorang RT dapat menempuh jalan yang amat berbahaya sekalipun untuk menyelamatkan nasib warganya. Karena menunanikan tanggungjawab itu sang RT dapat memakai maki dengan kata kata kasar dan kurangajar supaya presedin serius mengurusi kesejahteraan umum, agar segera menolong banyak orang terancam busung lapar. Sikap kritis sang RT terhadap presiden adalah dua wujud tanggung jawab pemimpin yang harus ditunaikan.
Sedikit dalam catatan ini saya menyinggung kasus DKST. Sadar orang mengatakan bahwa tulisan dan kata kata saya sangat amat kasar terhadap Bung Cudi sebagai Gubernur. Sekadar anda tahu sejak 40 tahun saya mengenal beliau, tahu persis karakter beliau, lingkungan sosial, lagi pula beliau figur idola saya karena dia sosok pemimpin yang pemberani dan jujur. Dibanding segala status yang melekat padanya, apalagi sekarang sebagai Gubernur, saya tidak ada apa-apanya. Saya ibarat semut di hadapan gajah. Haqul yakin secara fisik saya takut pada beliau. Saya paham bila orang mengatakan saya perlu introspeksi diri. Jangan kira saya tidak mengerti ini.
Ketika tanggung jawab ditaruh di pundak saya sebagai Ketua DKST yang sah, maka pada saat itu juga saya merasa begitu besar ketergantungan harapan para seniman kepada saya. Orang tidak tahu bila ada seniman sedih dengan mata berkaca kaca, duitnya dipinjam seorang bos DKST, dicicil dalam waktu lama sementara dia menghadapi musibah ibunya meninggal. Ada yang bernasib honornya dibayar sangat tidak wajar dibanding tenaganya yang diperas. Banyak lagi penderitaan yang dialami para seniman yang membutuhkan tindakan organisasi yang bersifat progresif.
Menghadapi birokrasi yang berbelit, tindakan pejabat Kadis Dikbud yang terkesan berpihak, usulan pengesahan kepengurusan hasil Musda Asrama Haji tidak diproses hingga saat ini. Saya melihat ada masalah dalam sistem birokrasi yang menurut saya berlawanan dengan aturan. Bahkan ada lagi kebijakan pejabat yang seolah olah membuat organisasi DKST tandingan. Wah, semakin tak jelas nasib para senimam. Proses disintegrasi dunia seniman semakin terbuka lebar.
Di sisi lain, ada oknum-oknum seniman demisioner berkolaborasi makruh dengan oknum pejabat, bisa membagi bagi duit negara ratusan juta dengan menggunakan dokumen organisasi yang diragukan keabsahannya. Ada dua tiga seniman menikmati uang negara berkali kali atas nama pengurus DKST demisioner. Sebagian besar seniman hanya menonton, bereaksi, tapi tidak pernah digubris sedikitpun.
Meresapi sedalam dalamnya tekanan yang dihadapi para seniman, juga karena mereka tak berdaya menghadapi arogansi pejabat yang begitu tangguh membela kroninya (dua tiga orang saja). Timbul praktek dalam sistem birokrasi teramat berbelit kaku dan berpihak. Merugikan sebagian besar nasib seniman Sulawesi Tengah di Kota dan Kabupaten.
Demi tanggungjawab di pundak saya, harus menyampaikan secara tegas dan terbuka ketidak beresan ini kepada pemimpin yang punya tanggungjawab terhadap rakyat. Bukan soal keberanian, karena hakikatnya secara fisik saya takut pada beliau (Bung Cudi), tetapi ini tanggungjawab yang saya harus tunaikan secara sungguh sungguh, kendati berhadapan dengan bahaya sekalipun. Tanggung jawab telah membuat rasa takut saya lumat menjadi debu, berhadapan dengan siapapun.
Saya tidak pintar berkelahi, tapi sedikitpun saya tidak pernah takut mengatakan yang haq dalam pendirian saya. Saya mengingatkan kepada Bung Cudi selaku Gubernur bahwa ada tanggungjawab yang dia tidak laksanakan secara lebih baik dalam mengurusi nasib kaum seniman yang sesungguhnya adalah rakyatnya.
Catatan ini hanya untuk memberi pesan bahwa kritik apapun kerasnya adalah akibat reaktif dari tanggungjawab setiap pemimpin siapapun dia. Supaya mereka menjalankan amanah rakyat sebaik baiknya dan sejujur jujurnya.
Bersama catatan ini saya menyampaikan permohonan maaf kepada Bapak Rusdi Mastura selaku gubernur Sulawesi Tengah, bila ada kata kata saya yang menusuk ke ranah pribadi. Maaf sekali lagi maaf.