PALU- Pegiat anti korupsi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Korupsi (KRAK) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) kecewa terhadap kejaksaan tinggi atas penghentian penyelidikan atas dugaan jual beli jabatan, atau gratifikasi, dalam pelaksanaan pelantikan tanggal 28 April 2022 lalu.
“Sebagai pelapor kami KRAK Sulteng sangat kecewa, dengan putusan kejaksaan menghentikan penyelidikan atas laporan kami,” kata Koordinator KRAK Sulteng, Harsono Bareki dihubungi di Palu, Selasa (18/10).
Ia menyoroti kinerja Kejati Sulteng, begitu banyak laporan KRAK Sulteng semua tidak ditindaklanjuti. Hampir semua laporan masyarakat di Kejaksaan tinggi tidak ditindaklanjuti.
“Tetapi ada kasus-kasus lain, hasil temuan mereka, yang kami tidak ketahui justru ditindaklanjuti,” beber Harsono dengan nada kesal.
Ia mempertanyakan, ada apa semua ini, tidak mau terima laporan masyarakat, ataukah tidak mampu bekerja bilamana yang dilaporkan adalah pejabat-pejabat tinggi di Sulteng.
“Ini yang kami pertanyakan kepada Kejaksaan Tinggi. Jual beli jabatan salahsatunya,” ucapnya.
Ia membeberkan, soal perkembangan kasus jual beli jabatan ini, mereka tidak pernah diberikan informasi. Sehingga mereka tidak mengetahui, sudah sejauh mana pengusutan dan penyelidikan jual beli jabatan tersebut.
“Kami tidak pernah diberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP ),” kata Harsono dongkol.
Dan dia mengatakan, pernah mempertanyakan hal tersebut kepada pihak kejaksaan perihal SP2HP atas laporan-laporan mereka. Bahkan dia sempat menuding pihak kejaksaan sudah ada bargaining atas kasus tersebut di masa akhir jabatan Kajati sebelumnya.
“Jangan-jangan, kenapa tidak ada pemberitahuan tiba-tiba dihentikan,” kata Harsono geram.
Ia menyebutkan, sudah banyak orang dipanggil dan diperiksa, bahkan sudah ada orang menyetorkan video. Dia mempertanyakan apakah itu belum cukup.
“Kalau orang-orang dipanggil ini tidak punya kapasitas, ngapain dipanggil?” cetusnya.
Ia mengatakan, pernah mendapatkan penjelasan sedikit dari Kajati Jacob Hendrik, bahwa kasus tersebut tidak cukup Rp100 juta, yang mereka (penyidik) temukan.
“Kenapa kasus korupsi harus menunggu Rp150 juta atau di atasnya. Ini alasan mengada-ada,” katanya.
Padahal kata dia, beredar cukup banyak sekitar Rp4,4 miliar, yang yang diperiksa juga sudah menyampaikan ada Rp50 juta, Rp5 juta, Rp10 juta. Menurutnya, memang itu kecil, tetapi jikalau semua diperiksa yang menerima, yang duduk maupun tidak duduk, dilantik atau tidak dilantik, maka sudah tentu sangat banyak.
“Saya marah dengan putusan menghentikan,” ungkapnya berang.
Olehnya, dia berharap dengan Kajati baru ini, jangan datang hanya melakukan surat penghentian penyelidikan (SP3), kasus-kasus mereka laporkan.
“Sama dengan laporan terakhir kami, yakni Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BP2W) dugaan korupsi penyimpangan proyek rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas Pendidikan Dasar Fase 1B senilai Rp37,41 miliar. Ini kami kawal terus,” ujarnya.
Ia menekankan, jangan lagi Kajati baru ini mempunyai niat sama dan perlakuan sama bahwa setiap laporan masyarakat di SP3.
Dengan penghentian penyelidikan kasus jual beli jabatan ini kata dia, dirinya akan menemui Kajati baru dan mempertanyakan alasan dan meminta dokumen SP3.
“Kalau memang dokumen SP3 itu dihentikan hanya alasan nilainya. Saya melapor ke Kejaksaan Agung dan aksi,” tegasnya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG