PALU – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulteng, Senin (18/09) mengundang sejumlah elemen, baik partai politik, ormas dan mahasiswa serta media massa, dalam rangka kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Sosialisasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hadir sebagai pemateri FGD, Ketua KPU Sulteng Sahran Raden, Divisi Teknis KPU Syamsul Gafur, Divisi Hukum Naharuddin serta salah satu pimpinan Bawaslu Sulteng, Zaidul Bahri Mokoagow.
Dalam kegiatan yang berlangsung di salah satu hotel di Kota Palu tersebut, KPU menyampaikan beberapa isu krusial yang berkaitan dengan UU Pemilu yang baru saja disahkan pemerintah, yang tidak diatur dalam UU Pemilu sebelumnya, mulai dari verifikasi partai politik yang akan menjadi peserta Pemilu tahun 2019, sistem penghitungan suara, penentuan jumlah kursi di DPRD, penataan daerah pemilihan (dapil), juga pencalonan anggota legislatif.
Pemaparan dimulai oleh pimpinan Bawaslu Sulteng, Zaidul Bahri yang menjelaskan tentang perubahan kelembagaan Bawaslu kabupaten/kota yang sifatnya sudah menjadi permanen, bukan ad hock lagi.
UU tersebut juga dibarengi dengan perubahan tugas Bawaslu Provinsi, dimana pada UU Nomor 11 tahun 2015, Bawaslu bertugas mengawasi seluruh tahapan, mengelola memelihara dan merawat arsip, menerima laporan dugaan pelanggaran, menyampaikan T/L kepada KPU, meneruskan T/L, menyampaikan laporan kepada Bawaslu dan mengawasi rekomendasi serta sosialisasi. Namun di UU yang baru ini, Bawaslu bertugas melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu
“Dalam perubahan diperjelas bahwa objek pencegahan dan penindakan ialah Pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu, dimana pada UU 15/2011 hanya dilakukan pada pelanggaran Pemilu saja. Ada perluasan objek pengawasan,” katanya.
Sementara Ketua KPU Sulteng, Sahran Raden, mengatakan, tahapan penyelenggaraan Pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Penetapan pasangan calon terpilih paling lambat 14 hari sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Sahran juga menyinggung tentang data kependudukan. Dalam hal ini, pemerintah dan Pemda menyediakan data kependudukan dalam bentuk DAK2 per kecamatan sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, DP4 Pemilu sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daftar pemilih sementara.
“Dan data WNI yang bertempat tinggal di luar negeri sebagai bahan bagi KPU dalam penyusunan daerah pemilihan dan daftar pemilih sementara,” katanya.
Sementara Divisi Hukum KPU Sulteng, Naharuddin, banyak menjelaskan tentang persyaratan parpol sebagai peserta Pemilu. Diantaranya memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen di kabupaten/kota dan 50 persen di kecamatan.
Selain itu, lanjut dia, juga menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di tingkat pusat.
“Tapi untuk kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sifatnya hanya memperhatikan, dalam artian tidak wajib. Parpol juga memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk,” jelasnya.
Dia juga menyatakan, untuk proses verifikasi, Parpol yang sudah terdaftar di Pemilu tahun 2014 lalu, tidak lagi diverifikasi. Hanya parpol baru saja yang diverifikasi.
“Tapi di DOB (Daerah Otonom Baru), walaupun parpol itu sudah terdaftar di Pemilu 2014, tetap dilakukan verifikasi factual,” tegasnya.
Pemateri terakhir, yakni Divisi Teknis KPU Sulteng, Syamsul Gafur menyampaikan isu krusial tentang syarat calon, diantaranya tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
“Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” tambahnya.
Terkait kelengkapan administrasi bakal calon, KPU akan melakukan verifikasi kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota dan terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
“Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, maka KPU memberikan kesempatan untuk memperbaiki daftar bakal calonnya,” katanya.
Mantan Anggota KPU Poso itu menegaskan, bila ditemukan dugaan pemalsuan dokumen dalam persyaratan administrasi, maka KPU akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menindaklanjutinya,” tandasnya.
Dalam FGD tersebut, berkembang beberapa hal dari peserta, salah satunya perwakilan dari PKS, Rustam. Dia mengusulkan agar rekapitulasi suara di tingkat kecamatan, ditiadakan dan langsung ke kabupaten/kota.
“SDM di kecamatan terbatas, selain itu siapa yang bisa melakukan pemantauan jika rekapitulasi suara berada di kecamatan yang cukup jauh,” katanya.
Usulan lain dari beberapa peserta FGD akan ditampung, kemudian disampaikan ke KPU pusat, mengingat sejauh ini, aturan yang disampaikan kepada peserta masih bersifat draft PKPU, belum disahkan. (RIFAY)