Pesatnya perdagangan kopra melalui pelabuhan Donggala pascakemerdekaan menjadi harapan baru bagi perekonomian Sulawesi Tengah. Di satu sisi tindakan monopoli melalui Yayasan Kopra menimbulkan ketidakpuasan petani dan pedagang kecil, memicu semangat smokel (penyelundupan).
Pada dekade 1950-an hingga 1970-an Pantai Barat Kabupaten Donggala terutama di Dampelas dan Sojol, Dampal Selatan dan Dampal Utara (wilayah Tolitoli) menjadi basis penyelundupan kopra.
Faktor yang tak kalah penting adalah akses yang terbuka secara geografis di wilayah pesisir Barat Sulawesi Tengah dengan Kalimantan Utara (Tawau, Malaysia) yang memudahkan kontak dagang melalui pelayaran tradisional. Harga jual kopra yang mahal di Tawau ketimbang dalam negeri menghasilkan nilai tukar ekonomi tinggi.
Orang-orang smokel membeli perabot rumah tangga berkualitas berupa piring, mangkok dan cangkir merek Duralex sedang digandrungi masa itu. Daya tarik ini memicu tindakan smokel demi keuntungan timbal balik.
Selain itu, faktor politik dalam negeri yang tidak stabil ikut mendorong semangat smokel. Di antara pelakunya adalah orang-orang gerakan DI/TII yang memberontak pada pemerintah.
Selama dekade 1950-an hingga pertengahan 60-an, kelompok DI/TII wilayah Sulawesi Tengah dengan basis di Sojol dan Dampal Selatan menguasai perdagangan kopra ke Tawau. Hasilnya dibelanjakan logistic; makanan, pakaian dan persenjataan untuk keperluan gerilya.
Desa Pesik (Sojol Utara) salah satu basis pertahanan DI/TII cukup strategis posisinya berada dalam teluk terdapat beberapa pulau aman bagi kapal berlabuh.
Berdasarkan sumber dari memori kolektif di antara warga yang dimintai kisahnya, mengungkapkan bahwa era smokel tidak lepas dari risiko. Ada tiga tantangan besar, yaitu menghadapi patroli Angkatan Laut Indonesia di perairan Selat Makasaar, menghadapi kemungkinan mengalami kesialan tertangkap bajak laut atau perompak (dari Fhilipina Selatan dengan minta tebusan uang) dan risiko alam menghadapi ganasnya gelombang laut yang kadang tidak menentu.
Pada dekade 1950-an dan 1960-an umumnya pelaut dari Sulawesi Tengah masih memakai perahu layar.
Aktivitas penyelendupan di perairan Pantai Barat wilayah Sulawesi Tengah hingga 1960-an ibarat penyakit kronis yang harus diberantas di mata pemerintah. Dianggap berdampak pada penurunan pendapatan keuangan negara dan daerah.
Penyelundupan kopra jadi momok bagi pemerintah pusat sehingga Menteri Perdagangan mengeluarkan SK khusus untuk pemberantasan penyelundupan. DPRD-GR Provinsi Sulawesi Tengah ikut mengeluarkan Resolusi No. 16 Tahun 1967 Tentang Pemberantasan Penyelundupan.
Masa itu, kopra bagai emas yang sangat menjanjikan bagi pembangunan daerah, punggung perekonomian. Booming kopra pascakemerdekaan dipertahankan sehingga DPRD-GR kembali mengeluarkan Resolusi Nomor: 35 Tahun 1967 tanggal 7 Oktober 1967 tentang Penggunaan dan Peremajaan Tanaman Kelapa sebagai antisipasi berkurangnya tanaman kelapa yang umumnya sudah tua.
Kala itu, pihak legislatif mendesak gubernur agar semua dana peremajaan yang terkumpul di GKK (Gabungan Koperasi Kopra) Sulawesi Tengah segera dimanfaatkan untuk peremajaan tanaman kelapa, melalui panitia yang ditunjuk.
Pusat Koperasi Kopra (PKK) bertugas mengumpulkan dan menampung kopra dari gudang koperasi primer ke gudang-gudang pelabuhan. PKK berada dalam koordinasi GKK (Gabungan Koperasi Kopra) mengatur seluruh stok kopra di gudang pelabuhan dalam wilayah Sulawesi Tengah.
Seluruh pembiayaan kopra dari petani sampai ke gudang pelabuhan dan tiap akhir bulan pihak GKK melaporkan kondisi stok kopra pada gubernur untuk pertanggungjawaban.
Tata niaga mengatur harga dasar kopra dan penjatahan pada pengusaha dengan mengajukan surat permintaan pembelian kopra dikeluarkan Perwakilan Departemen Perdagangan berdasarkan penetapan gubernur.
PKK mendapat legitimasi dari pemerintah, yang secara tidak langsung merupakan bentuk monopoli sebagai bagian pengawasan dan bila ada yang melanggar dikenai sanksi dengan aturan berlaku. Antara legislatif dan eksekutif saling dukung untuk mengatur perdagangan kopra melalui tata niaga hingga mencari solusi peremajaan kelapa milik petani.
Karena itu pula DPRD-GR Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 1 Oktober 1970 mengeluarkan sebuah Nota Nomor: 5/DPRD-GR/1970 tentang Pola Rencana Penggunaan Sumbangan Rehabilitasi Kopra.
Nota tersebut sebagai respon pihak legislatif dengan harapan tujuan dari sumbangan rehabilitasi kopra dapat menunjang kegiatan-kegiatan produksi dan pemerintah maupun legislatif mengusahakan peningkatan pendapatan rakyat, menggunakan sumbangan rehabilitasi menjamin daya guna maksimal rehabilitasi kopra.
Monopoli perdagangan kopra di daerah berdampak pada menjeritnya petani karena tidak menikmati hasil tanaman kelapa miliknya. Tata niaga kopra cenderung lebih menguntungkan pengusaha atau pengelola yang ditunjuk pemerintah daerah memiliki kepentingan utama termasuk kepentingan pemerintah pusat.
Ketidaknyamanan penghasil kopra, bukan hanya dialami petani di Sulawesi Tengah, tapi dirasakan pula petani di wilayah Gorontalo.
Munculnya gerakan perlawanan pada pemerintah pusat di Sulawesi, tidak lepas dari urusan perdagangan kopra. Pembagian hasil, pemerintah pusat lebih mendominasi dan penghasil kopra cenderung dirugikan.
Di tengah penerapan tata niaga menimbulkan ketidakpuasan pedagang dan petani kelapa dalam dinamika sosial ekonomi; tidak sedikit di antara mereka melakukan perlawanan berupa smokel kopra.
Hingga di era 1980-an, Pelabuhan Donggala sangat sibuk dengan pemuatan kopra setiap hari, karena terdapat banyak gudang penampungan. Deretan gudang di pelabuhan utama tak pernah kosong. Belum lagi tiga gudang silinderis bekas peninggalan Belanda yang selalu penuh kopra.
Kini, setiap melewati gudang-gudang di Pelabuhan Donggala, tidak pernah lagi tercium bau khas kopra. Pengiriman kopra melalui pelabuhan sudah lama berhenti, karena sudah lebih banyak di wilayah kerja Pantoloan.
Kopra Donggala, kini tinggal kisah.
Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay