Strategi Advokasi KARAMHA, Kondisi Empiris dan Tantangan di Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah memiliki 79 wilayah adat dengan total luas hampir 897 ribu ha, di mana komunitas seperti Tau Taa Wana, Ngata Toro, dan Lindu bergantung pada hutan adat sebagai identitas dan sumber penghidupan.
Meskipun pencantuman hutan adat di RTRWP berhasil dilakukan, konflik agraria tetap terjadi, terutama di Kabupaten Sigi terkait tumpang tindih penguasaan lahan antara masyarakat dan Badan Bank Tanah yang memberi Hak Pengelolaan di atas tanah yang diharapkan menjadi TORA komunal.
Fragmentasi regulasi, kapasitas kelembagaan yang terbatas, dan ancaman pengambilalihan tanah menjadi tantangan utama yang harus dihadapi dalam jangka panjang.
Sejak 2018, KARAMHA yang terdiri dari sembilan organisasi masyarakat sipil menjalankan tiga jalur strategis: advokasi kebijakan berbasis bukti, mobilisasi hukum dan dialog multi-level, serta penggalangan dukungan publik melalui audiensi DPRD, dialog teknis, dan petisi anti-BBT.
Strategi ini berhasil membangun public trust yang memperkuat pengakuan MHA di tingkat kebijakan daerah.
Rekomendasi Kebijakan dan Roadmap 2025-2045
Pengembangan roadmap 20 tahun meliputi:
- Fase Konsolidasi (2025-2029): Verifikasi wilayah adat, harmonisasi regulasi, penguatan kelembagaan dengan target Perda Pengakuan MHA.
- Fase Penguatan (2029-2035): Integrasi wilayah adat ke dalam RTRW dan pengembangan ekonomi berbasis kearifan lokal dengan target ≥50% wilayah adat terintegrasi.
- Fase Pemantapan (2035-2040): Optimalisasi pengelolaan hutan adat dan penyelesaian konflik tenurial.
- Fase Keberlanjutan (2040-2045): Evaluasi dan advokasi kebijakan nasional dengan target ≥80% wilayah adat diakui.
Rekomendasi khusus termasuk penghentian aktivitas BBT yang tumpang tindih dengan TORA, pelatihan pluralisme hukum bagi pemerintah dan aparatur peradilan, serta pembangunan sistem pendataan partisipatif yang melibatkan MHA.