Dampak Sosial dan Ekologis
Pengakuan hutan adat sebagai KSP di RTRWP Sulawesi Tengah memberikan dampak langsung yang positif bagi kelangsungan hidup masyarakat adat, pelestarian budaya, dan ekosistem hutan.
Kepastian hukum membantu mengatasi konflik agraria yang selama ini menjadi hambatan utama pada progres reforma agraria dan penataan wilayah yang adil.
Perlindungan hutan adat juga menjaga kelestarian sumber daya alam yang menjadi basis ekonomi dan kultural masyarakat adat.
Selain aspek perlindungan sosial dan budaya, integrasi ini mendukung pembangunan berkelanjutan dengan menjamin kelestarian lingkungan dan penyediaan ekosistem yang sehat sebagai bagian integral dari kebijakan tata ruang yang inklusif.
Tantangan utama terkait pengakuan KSP adalah potensi benturan dengan program dan kebijakan nasional seperti Badan Bank Tanah (BBT) yang dalam beberapa kasus menguasai wilayah TORA yang seharusnya menjadi hak komunal masyarakat adat, sehingga menimbulkan sengketa dan mengancam keberlanjutan pengakuan tersebut.
Selain itu, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan KSP masih terbatas sehingga memerlukan pendampingan teknis dan penguatan sumber daya manusia agar implementasi perencanaan dan pengelolaan wilayah dapat berjalan efektif.
Kontribusi KARAMHA Sulteng Sebagai Income Generating (Immateriil)
Koalisi Advokasi Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) bersama Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) LPPM Universitas Tadulako (Untad) berkontribusi strategis dalam advokasi kebijakan pembangunan keadilan substantif berbasis kearifan lokal dan moralitas, mendorong pengakuan hutan adat dalam Perda RTRWP Sulteng 2023-2042 serta menolak Badan Bank Tanah (BBT) yang menghambat TORA komunal.
Kampus lewat PKBH menjadikan perjuangan ini sebagai income generating immateriil dengan meningkatkan reputasi, jejaring, dan pengembangan SDM untuk keadilan sosial dan keberlanjutan. Hukum inklusif menempatkan partisipasi aktif kelompok marginal, seperti MHA dan masyarakat rentan lainnya dalam proses hukum sehingga menghasilkan keadilan substantif.
Landasan konstitusional utama mencakup Pasal 18B dan Pasal 28I UUD 1945, serta Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat bukan hutan negara.
Paradigma ini menuntut pengakuan terhadap pluralisme hukum yang menghargai norma adat dan kearifan lokal guna mencegah eksklusi sosial. KARAMHA dan PKBH menggunakan pendekatan partisipatif, mengintegrasikan norma adat dan hukum positif dalam advokasi RTRWP dengan pendekatan bottom-up yang berbeda dari model top-down klasik.
KARAMHA menggerakkan advokasi kebijakan berbasis bukti, mobilisasi dialog dan publik, sukses mendorong pencantuman hutan adat seluas 17.501 ha dalam Perda RTRWP serta menolak BBT yang melemahkan hak komunal masyarakat.
PKBH Untad memberikan pendampingan hukum pro-bono, riset akademik, serta edukasi hukum bagi MHA, sekaligus memperkuat legitimasi akademik dalam advokasi.
Sinergi ini membangun public trust dan menghasilkan income immateriil berupa reputasi, jejaring kolaborasi nasional-internasional, dan pengembangan SDM berbasis pengalaman lapangan, memperkuat posisi Untad dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Advokasi yang dilakukan oleh KARAMHA dengan dukungan kuat dari PKBH LPPM Untad, sejak 2018, berhasil memasukkan enam hutan adat dengan luas total 17.501 hektar sebagai Kawasan Strategis Provinsi Sulawesi Tengah dalam Perda RTRWP 2023-2042.
Area KSP ini mencakup Wana Posangke (Morowali Utara), dan lima hutan adat di Kabupaten Sigi termasuk Marena, Masewo, Moa, Suaka Katuwua To Lindu, dan Ngata Toro.
Pencapaian ini memberikan dampak besar bagi keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Status KSP memperkuat perlindungan terhadap hutan adat dengan memberikan dasar hukum yang jelas, menempatkan pengelolaan kawasan tersebut pada prioritas pemerintah provinsi dan mencegah klaim sepihak pihak luar.
Hal ini mendukung kelangsungan kultural dan sosial ekonomi masyarakat adat, serta menjaga ekosistem sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.
Namun, ancaman tetap ada, seperti aktivitas Badan Bank Tanah (BBT) di Kabupaten Sigi yang mencoba mengklaim lahan TORA masyarakat adat dengan Hak Pengelolaan (HPL), yang berpotensi menimbulkan konflik dan melemahkan hak.
Selain itu, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat adat untuk mengelola dan mengawasi wilayah KSP masih perlu diperkuat agar implementasi kebijakan dapat optimal.
Selain itu, PKBH turut menginisiasi dan mendukung penyusunan naskah akademik dan Raperda tahun 2025, ini tidak terlepas dari peran multi-pihak.
Selain pemerintah, DPRD, dan organisasi masyarakat sipil seperti KARAMHA, kontribusi akademis dari perguruan tinggi, khususnya PKBH LPPM Untad, memiliki peran strategis yang esensial dan multidimensi.
Kontribusi ini bukan hanya bersifat teknis, melainkan juga substantif dan etis, yang mewujudkan kolaborasi antara teori hukum dan praksis di lapangan.
Pertama, peran sentral sebagai Tim Pengkaji bersama KARAMHA dan Mitra Pemerintah Berdasarkan dokumen, NA & Raperda ini disusun oleh tim pengkaji yang melibatkan akademisi.
Dalam konteks ini, PKBH LPPM Untad, sebagai pusat studi hukum yang berafiliasi dengan universitas terbesar di Palu, menjadi mitra kunci bagi Pemerintah Provinsi dan DPRD Sulawesi Tengah.
Peran mereka mencakup:
- Riset Yuridis-Normatif dan Kajian Akademis: PKBH LPPM Untad berkontribusi dalam menganalisis secara mendalam landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Perda. Mereka melakukan kajian kritis terhadap peraturan perundang-undangan terkait, termasuk konflik norma antara regulasi sektoral dan kekosongan hukum di tingkat provinsi. Hasil riset ini menjadi dasar argumentatif yang kuat bagi Raperda.
- Penyusunan Naskah Akademik Partisipatif: Sebagai Tim Pengkaji, akademisi dari PKBH LPPM Untad tidak hanya merumuskan materi secara teoritis, tetapi juga mengintegrasikan data lapangan yang diperoleh dari studi empiris. Mereka menggunakan pendekatan multi-disiplin, yang mencakup studi literatur, wawancara mendalam dengan tokoh adat, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai pihak terkait. Ini memastikan bahwa Naskah Akademik yang dihasilkan mencerminkan realitas sosial di lapangan, bukan sekadar kajian normatif semata.
- Penguatan Kapasitas dan Diseminasi Pengetahuan: PKBH LPPM Untad berperan sebagai fasilitator dalam meningkatkan pemahaman birokrasi dan publik tentang isu MHA. Melalui seminar, lokakarya, dan FGD, mereka membantu menjembatani kesenjangan pemahaman antara hukum adat dan hukum negara.
Kedua, Peran Advokasi dan Pendampingan Komunitas. Selain kontribusi akademis, peran PKBH LPPM Untad tidak dapat dipisahkan dari fungsi pengabdian masyarakatnya. Fungsi ini menempatkan mereka sebagai aktor advokasi yang berpihak pada MHA:
- Advokasi Kebijakan Berbasis Data: PKBH LPPM Untad mengolah data empiris dan riset lapangan untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang kuat. Mereka menyoroti persoalan-persoalan spesifik, seperti tumpang tindih wilayah adat dan lambatnya proses pengakuan, yang kemudian diakomodasi dalam rumusan Raperda.
- Pendampingan Hukum Bagi Komunitas: PKBH LPPM Untad, melalui fungsi bantuan hukumnya, memberikan pendampingan hukum langsung kepada MHA yang menghadapi konflik agraria dan kriminalisasi, seperti kasus kriminalisasi MHA To Vatutela. Pengalaman ini memberikan wawasan praktis yang sangat berharga dalam merumuskan mekanisme perlindungan dan pemulihan hak dalam Raperda.
Demikan pula penyusunan kertas posisi untuk mengadvokasi kebijakan publik agar lebih inklusif dan berorientasi keadilan sosial.
Melalui peran ini, PKBH mengukuhkan status UNTAD sebagai knowledge hub dan public justice vehicle yang menegakkan keadilan untuk kelompok rentan.
Peran ini juga memberikan income generating (immateriil) bagi Untad melalui peningkatan reputasi sebagai institusi yang berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan, memperluas jaringan kolaborasi nasional dan internasional, serta menghasilkan pengembangan SDM yang berkompeten melalui pengalaman lapangan.
Pendampingan PKBH di berbagai komunitas adat menjadi contoh nyata bagaimana kampus dapat menjadi aktor penting dalam transformasi sosial dan hukum inklusif.