JAKARTA Peringatan Hari Tani Nasional ke-65 menjadi panggung perlawanan rakyat terhadap ketimpangan agraria  terus terjadi di berbagai daerah. Ribuan massa dari berbagai organisasi, termasuk Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), memadati kawasan depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/9).

Aksi berlangsung dramatis, terutama ketika Muhammad Ridwan, aktivis agraria asal Riau, menyemen tubuhnya sebagai simbol protes ekstrem terhadap maraknya perampasan tanah oleh korporasi besar.

“Aksi cor badan ini adalah tanda bahwa kami tidak berhenti sampai negara serius menyelesaikan konflik agraria. Kami rela tubuh ini mengeras dengan semen, asal tanah rakyat jangan lagi dirampas,” seru Ridwan dalam orasinya.

Salah satu isu paling menonjol dalam aksi ini adalah konflik agraria  terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Persoalan tanah membelit masyarakat di wilayah Sisipan, Tolando, dan Batui akhirnya menembus dinding Istana Negara. Untuk pertama kalinya, konflik agraria di Banggai resmi dibawa ke meja mediasi tingkat nasional dengan melibatkan tiga kementerian, yakni Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Sekretariat Negara, dan Kementerian Perindustrian.

Ketua Umum LMND, Moh. Isnain Mukadar, menyampaikan secara langsung tuntutan rakyat Banggai dalam forum tersebut. Ia menyebut konflik di Banggai sebagai potret telanjang kegagalan negara dalam menjalankan reforma agraria  sejati.

“Kami menuntut agar pemerintah segera mencabut HGU PT. Matra Arona Banggai (PT. MAB) yang merampas tanah rakyat di Sisipan, Tolando, dan Batui. Tidak ada jalan lain, tanah rakyat harus kembali ke tangan rakyat,” tegas Isnain.

Dalam dokumen tuntutan resmi  diserahkan kepada pemerintah, LMND bersama perwakilan rakyat Banggai mendesak agar: Dievaluasi Sertipikat HGU 0064 seluas 84 hektar di Kelurahan Sisipan, Kecamatan Batui, yang kini dikuasai PT. MAB melalui peralihan dari PT. BSS sejak 2 September 2019.

Dibatalkan Sertifikat HGU Nomor 01 Tolando seluas 65,5 hektar yang sedang dalam proses perpanjangan oleh PT. MAB.
Dihentikan praktik perampasan tanah oleh PT. Sawindo Cemerlang yang HGU-nya tumpang tindih dengan lahan rakyat di Kecamatan Batui dan Batui Selatan.

Isnain menegaskan bahwa perjuangan rakyat Banggai sudah berlangsung bertahun-tahun, namun negara belum menunjukkan keberpihakan tegas. “Rakyat Banggai sudah terlalu lama menunggu keadilan. Negara harus memilih: berpihak pada petani atau terus menjadi pelayan korporasi,” tegasnya.

Menanggapi tekanan massa aksi, pemerintah menyatakan kesediaannya menindaklanjuti dengan membentuk badan ad hoc Dewan Reforma Agraria Nasional. Meski demikian, LMND mengingatkan bahwa pembentukan badan tersebut tidak boleh menjadi simbol kosong. Mereka mendesak agar unsur masyarakat sipil, pemuda, dan mahasiswa dilibatkan secara aktif.

“Harapan kami, badan ad hoc ini melibatkan unsur masyarakat, pemuda, dan mahasiswa agar pelaksanaan reforma agraria benar-benar berpihak pada rakyat,” lanjut Isnain.

Hari Tani Nasional tahun ini menjadi momen penting bagi rakyat Banggai. Suara  selama ini hanya bergema di kampung halaman kini mengguncang jantung kekuasaan. Perjuangan agraria mereka menjadi bagian dari denyut gerakan nasional  menuntut keadilan agraria secara menyeluruh.

“Tanah adalah sumber kehidupan. Selama tanah dirampas, rakyat tidak  berhenti melawan,” pungkas Isnain.

Selain isu Banggai, massa aksi juga mengangkat berbagai konflik agraria lainnya di seluruh Indonesia, antara lain:

  • Menolak perpanjangan HGU PTPN IV Cot Girek, Aceh.
  • Mencabut SK 357/MenLHK di Kabupaten TTS, NTT.
  • Menghentikan kriminalisasi masyarakat adat di Sikka (NTT), Halmahera Timur, Halmahera Utara, dan Halmahera Barat.
  • Menolak penggusuran paksa warga Menteng Pulo Dua, Jakarta.
  • Meninjau ulang izin HGU dan izin wisata di Bali yang mengancam ruang hidup masyarakat lokal.

***