PALU – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palu mencatat sebanyak 622 warga setempat yang terinfeksi penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), selama tahun 2002 hingga 2017. Dalam kurun waktu 15 tahun tersebut, sudah 98 orang yang meninggal dunia akibat penyakit menular itu.
Di kota ini, kasus HIV didominasi usia 19 sampai 35 tahun dengan tren peningkatan terjadi pada ibu-ibu rumah tangga. Data penderita HIV/AIDS terakhir, jumlah yang masih hidup adalah 524 orang, 184 diantaranya adalah ibu rumah tangga.
Dalam posisi ini, komunitas waria ternyata menjadi salah satu populasi kunci yang sangat berpotensi menjadi sumber penularan HIV/AIDS. Komunitas ini bersama kelompok Pekerja Seks Komersial (PSK), para napi, komunitas lelaki suka lelaki, pekerja salon dan panti pijat serta hotel dan club malam, menjadi sasaran pembinaan dan pendampingan yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palu.
“Diantaranya penyuluhan, kunjungan dan counselor. Ini membuat mereka lebih terbuka dan lebih siap untuk mengikuti tes darah sukarela dan mengikuti program pengobatan dan rehabilitasi mental tanpa takut didiskriminasi,” kata Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Palu, Royke Abraham, Selasa (06/02).
Selama ini, kata dia langkah yang telah diambil oleh Dinkes yaitu melakukan pemantapan kegiatan promotif preventif, sistim diagnosa, sistem pengobatan dan rehabilitasi penderita, keluarga maupun masyarakat.
“Ini dilakukan untuk mencapai target 3 Zero, yaitu tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian yang terkait HIV/AIDS dan tidak ada diskriminasi penderita HIV/AIDS,” jelasnya.
Untuk mencapai target itu, pihaknya melibatkan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), MUI, gereja dan sebagainya.
“Untuk yang diluar populasi kunci, tetap diminta membentuk Pokja HIV di tempatnya masing-masing, seperti perusahaan agar dapat mandiri dalam melakukan pencegahan dan penanganan virus HIV ini,” ucapnya.
Pihaknya juga mendorong agar ada solusi yang bijak terhadap rencana Pemkot akan mengambil kebijakan terhadap keberadaan lokalisasi ilegal Tondo Kiri. Dari hasil libu ntodea, telah diputuskan akan dibentuk tim bersama untuk mengkaji lebih dalam tentang Tondo Kiri dari berbagai aspek, termasuk kemungkinan psikologi massa bila harus di relokasi ke tempat yang lebih tepat.
Menurutnya, dengan data yang lengkap, tentunya akan menghasilkan kebijakan dan keputusan yang tepat untuk dapat mengakomodir semua kepentingan, tanpa harus mengorbankan pihak manapun.
“Bahwa karena ketidakmampuan kita memetakan populasi kunci secara baik, sehingga transmisi seksual HIV semakin sulit kita control. Sex Safety condom 100 persen kerapkali di hujat sebagai legalisasi sex bebas. Sementara di lain pihak, fakta dan data ternyata ibu rumah tangga yang solehah harus terinfeksi virus ini, bahkan bayi dan balita tidak berdosa harus juga menanggung akibatnya,” paparnya.
Untuk itu. tambahnya, dibutuhkan pemahaman bersama semua pihak sehingga wawasan lebih terbuka untuk melangkah bersama menuju 3 Zero. (HAMID)