Komunitas Seni Lobo Gelar Festival Sastra Tadulako Notutura

oleh -
Dari kiri: Gazali Lembah, Neni Muhidin, dan Ryan. (FOTO: mediaalkhairaat.id/Iker)

PALU – Komunitas Seni Lobo Kota Palu menggelar kegiatan Festival Sastra Tadulako Notutura; Generasi Bertutur, di Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Palu, Sabtu (02/09) malam.

Bincang Seni Pahlawan Tanpa Pamrih #14 ini didukung oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa.

Sajak-sajak TS. Atjad dibacakan sebelum bincang-bincang sore itu digelar.

Dengan mengusung topik “Melihat Regenerasi Bahasa Daerah melalui Karya Sastra, Sudahkah Genting?” kegiatan menghadirkan Gazali Lembah (Dosen Untad) dan Neni Muhidin (penulis) sebagai narasumber.

Mengawali pemaparannya, Neni Muhidin menyoroti karya-karya pendahulu, termasuk TS. Atjad yang menulis puisi-puisinya dalam bahasa Indonesia tahun 1972.

“Baiknya dari TS. Atjad adalah ia selalu membubuhkan waktu dalam menulis, sehingga dapat ditelusuri tanggal, bulan, dan tahunnya,” papar Neni.

BACA JUGA :  Tekan Kasus Kebakaran, Damkarmat Palu Berdayakan Milenial dan Gen-Z

Secara kultur, lanjut Neni, orang-orang di Palu sangat terbuka dengan banyak bahasa, salah satunya Bahasa Kaili.

Di Abad ke-18, tahun 1700, kata dia, bahasa melayu dipercakapkan dan didengar Woodard. Dalam KBBI, lema atau kata dalam bahasa Kaili lebih banyak diserap dibandingkan bahasa Bugis, Minahasa dan Makassar. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana bahasa daerah ini berada di ruang publik.

“Judul diskusi kita hari ini itu melihat regenerasi bahasa daerah melalui karya sastra. Lalu ada pertanyaan sudahkah genting? Bagi saya itu bukan soal kegentingan, tapi soal bagaimana cara menjawab regenerasi ini, karena kegelisahan yang ada dalam pertanyaan itu sama seperti bahasa indonesia di forum global. Kenapa Pramoedya tidak dapat nobel sastra? Karena karyanya berbahasa Indonesia bukan berbahasa Inggris,” tambahnya.

BACA JUGA :  26 Bus Trans Palu Segera Tiba

Tantangan selanjutnya adalah penerbitan dan keterbacaan buku-buku itu, bagaimana menjangkau orang-orang.

Sesuai pengalamannya, Neni menuturkan upaya dalam menumbuhkan ketertarikan dalam bacaan karya sastra berbahasa daerah. Ia mengalami Kaili bukan sebagai bahasa tapi sebagai makna. Ia suka sekali  menulusuri lema, contoh kata Bengga (kamus Kaili – Ledo)  berarti terbang, tetapi ketika dia ditambahkan awalan Nobengga dia jadi merangkak.

“Itu kan, buat orang yang ingin mendalami bahasa atau misalnya sastrawan, kata itu memantik rasa ingin tahu yang lebih dalam. Saya mengalami Kaili, sekali lagi sebagai makna. Nah bahasa daerah tumbuh sebagai makna, apalagi sastra. Sastra yang ada di lapis-lapis dalam, contoh topomini, penamaan ruang, semua nama di ruang-ruang ini erat kaitannya,” tutur Neni.

BACA JUGA :  Tim Gabungan Tertibkan Kios Penjual Elpiji 3 Kg

Neni mengatakan bahwa bahasa Kaili itu sangat sastra, karena menjangkau rasa ingin tahu orang-orang, tidak sekadar kata yang bisa ditaruh sebagai percakapan, tetapi sebagai makna.

“Peran sastra yang berbahasa daerah itu dapat melestarikan bahasa daerah,” ujarnya.

Reporter : Iker
Editor : Rifay