PALU- Lembaga Bantuan Hukum APIK Titik Tri Wahyuni menyebut berdasarkan catatan Komnas Perempuan 2023, terdapat 1.697 kasus kekerasan berbasis gender, mayoritas berupa kekerasan seksual berbasis elektronik menimpa perempuan.

Demikian di sampaikan Titik Tri Wahyuni, saat memjadi nara sumber dalam pelatihan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) bagi jurnalis perempuan dan muda di Sulawesi Tengah.

Kegiatan bertajuk “Lawan Kekerasan Digital, Bangun Solidaritas Jurnalis Perempuan Muda”  di selenggarakan oleh Jurnalis Wanita Indonesia (Juwita) bekerja sama dengan PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSLNG), berlangsung di Hotel Jazz Palu, Sabtu (23/8).

Titik memaparkan, mengenai konsep gender, bentuk ketidakadilan gender seperti marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, hingga beban ganda, serta pengenalan KBGO.

Titik menekankan dampak KBGO yang meliputi trauma psikologis, kerugian ekonomi, keterasingan sosial, hingga hambatan karier. Peserta didorong untuk memahami prinsip pendampingan korban berperspektif gender, tidak menyalahkan korban, serta mengutamakan keamanan digital.

Selain itu, disosialisasikan pula dasar hukum terkait KBGO yang tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Pasal 14.

Ketua JUWITA Kartini Nainggolan, dalam materi strategi aman di media sosial dan penanganan doxing mengatakan, media sosial saat ini menjadi ruang publikasi dan advokasi luas, namun juga menghadirkan risiko besar bagi penggunanya, khususnya jurnalis perempuan.

Jurnalis kerap menjadi target Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dengan berbagai bentuk, mulai dari doxing, body shaming, hingga pelecehan seksual daring. “Risiko ini bukan hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki. Namun dampaknya terhadap psikologis perempuan jauh lebih besar,” jelasnya.

Salah satu kasus diangkat adalah ancaman terhadap jurnalis meliput isu sensitif Jessicca. Ia mengalami doxing dan teror fisik berupa kiriman kepala babi ke kantornya. Ancaman semacam tersebut menunjukkan bahwa kekerasan digital dapat berlanjut menjadi intimidasi nyata di dunia offline.

“Selain soal bahaya membagikan informasi pribadi secara real time di media sosial, karena dapat dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan peretasan maupun penguntitan,” katanya.

Kartini menekankan pentingnya strategi perlindungan digital, seperti penggunaan kata sandi kuat, autentikasi dua faktor, memisahkan akun pribadi dan pekerjaan, serta menjaga privasi dengan menghapus metadata foto.

Selain itu, Kartini mengajak peserta meningkatkan literasi digital, melaporkan konten berbahaya ke platform penyedia, hingga berani melapor ke aparat penegak hukum bila menjadi korban. “Berani melapor itu hebat, dan solidaritas komunitas sangat dibutuhkan untuk melindungi jurnalis dari ancaman kekerasan digital,” tegas Kartini.

Ketua AJI Palu periode 2021-2024 Yardin Hasan dalam materi strategi Kampanye KBGO dan produksi konten aman, mengatakan, menuturkan, perkembangan teknologi digital telah menghadirkan tantangan baru berupa kekerasan berbasis gender online (KBGO).

“Data Komnas HAM mencatat, pada tahun 2024 terjadi peningkatan kasus sebesar 98,55 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan 1.800 laporan. Meski demikian, di Palu sendiri kasus kekerasan digital belum banyak terdata secara resmi. Hal ini menunjukkan perlunya kesadaran kolektif untuk memahami bahwa kekerasan digital dapat menimpa siapa saja, baik perempuan, laki-laki, maupun kelompok rentan lainnya,” tuturnya.

Yardin mengatakan, fenomena tersebut berkaitan erat dengan perilaku pengguna media sosial. Ujaran kebencian, pelecehan seksual, penyebaran data pribadi (doxing), hingga manipulasi digital kerap terjadi tanpa disadari. Padahal, jejak digital bersifat abadi dan dapat memengaruhi reputasi, bahkan masa depan seseorang, termasuk dalam dunia kerja.

“Kurangnya literasi digital menyebabkan banyak orang mudah terjebak pada konten manipulatif, hoaks politik, maupun eksploitasi korban di ruang digital.

Karena itu, jurnalis dan konten kreator diingatkan untuk mengedepankan etika dalam setiap produk informasinya,” ujarnya.

Yardin mengatakan, objektivitas, empati terhadap korban, serta kepatuhan pada prinsip tidak menyalahkan korban menjadi standar penting agar ruang digital lebih aman dan sehat. Selain itu, publik juga didorong untuk lebih kritis dalam memilah informasi, serta bijak menggunakan media sosial guna menciptakan ruang nyaman dan setara bagi semua.***