Oleh: Prof. Dr. KH. Zainal Abidin, M.Ag
Sejak dulu, tidak sedikit orang yang mempertentangkan antara agama dan ilmu pengetahuan, atau antara kitab suci dengan hasil-hasil riset. Belakangan, dikotomi tersebut semakin menguat. Sehingga tidak mengherankan di beberapa negara Eropa dan Amerika, angka pengikut paham anti agama (atheisme) semakin bertambah.
Benarkah agama bertentangan dengan sains? Mungkin saja ada bagian tertentu dari agama yang memiliki kesan pertentangan. Namun, Islam dan al-Qur’an tidak termasuk agama yang anti sains. Justeru, melalui tangan-tangan ilmuwan dan filosof muslim-lah, dunia mengalami kemajuan sains seperti sekarang.
Sejarah mencatat, Islam merupakan agama yang berjasa menghidupkan kembali ruh filsafat dan pengetahuan yang mati suri selama kurang lebih 700 tahun. Al-Kindi dan beberapa tokoh sezaman berhasil menerjemahkan karya para cerdik cendekia Yunani kuno yang tidak terurus selama berabad-abad. Berkat penerjemahan tersebut, dunia Islam mengalami kemajuan. Kota Baghdad dan Mesir tidak hanya dikenal sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah dan Fatimiyah, melainkan juga sentra pengembangan ilmu pengetahuan.
Semangat saintifik Islam, sejatinya, merupakan pengaruh dari al-Qur’an. Dengan kata lain, al-Qur’an yang mendorong agar umat Islam menguasai dan mengembangkan sains. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya perintah dalam al-Qur’an agar umat Islam berpikir dan menggunakan akal dengan baik. Kata-kata perintah yang paling banyak berbentuk afala ta’qilun, afala tatadabbarun, afala tatafakkarun, afala ta’lamun, berikut beberapa yang lain. Orang yang berpikir nantinya diberikan gelar kehormatan seperti ulul albab (QS. 2: 269), diangkat derajatnya (QS. 58:11), dijadikan hamba pilihan (QS. 35:28), dan keutamaan-keutamaan lainnya.
Selain memberikan perintah secara langsung, al-Qur’an juga memberikan motivasi agar umat Islam menggunakan segala kemampuan dalam memanfaatkan karunia Allah yang ada. Karunia-karunia tersebut ditantang untuk diteliti, dibangun teori, dan bahkan dikembangkan menjadi teknologi. Misalnya, Allah menyiptakan nyamuk. Dalam hal ini manusia ditantang untuk mengurai struktur biologis dan fisiologi serangga penghisap darah yang mendatangkan risiko kematian tersebut. Dari sini lalu ditemukan teknologi medis dan farmasi. Denyut ekonomi menggeliat dari hulu ke hilir.
Allah juga menyediakan bulu domba, kapas, dan ulat sutera. Manusia diajak memikirkan bagaimana mengubahnya menjadi benang. Lalu dipintal sehingga menjadi kain. Kain diolah menjadi berbagai bentuk pakaian. Industri tekstil, modeling, dan konveksi berkembang di mana-mana.
Allamah Muhammad Iqbal dalam beberapa syairnya juga mengulas karunia kauni ini. Katanya, kalau Allah menciptakan tanah lempung, maka manusia menjadikannya tembikar dan gerabah yang indah. Kalau Allah menciptakan api, manusia mengubahnya menjadi lentera.
Semua aktivitas mengubah materi alami menjadi produk-produk yang dibutuhkan manusia hanya mungkin jika menggunakan sains. Dengan demikian, tak bisa dibantah, bahwa al-Qur’an sangat menaruh perhatian besar pada bidang yang satu ini. Sains merupakan soko guru peradaban, maka cukup tepat pula dikatakan jika al-Qur’an menghendaki peradaban manusia terus berkembang dan maju.
Al-Qur’an dan sains dua hal yang saling melengkapi. Fungsi al-Qur’an dalam pengembangan sains tidak hanya menyangkut soal inspirasi, melainkan juga acuan moral. Bagaimana pun sains harus juga dipandu oleh nilai-nilai moral. Sains yang tidak didampingi moral bisa berubah menjadi destruktif atau merusak.
Karena al-Qur’an tidak bertentangan sains, maka seyogianya umat Islam mempelajari keduanya. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam pandangan dikotomis yang menjauhkan al-Qur’an dari sains. Keduanya sama penting dan dibutuhkan umat Islam.