JAKARTA – Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dari komisi I melakukan kunjungan kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT), tepatnya di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembangunan Desa dan Perdesaan (PDP), Jumat (10/11).

Rombongan yang dipimpin Wakil Ketua Komisi I, Wiwik Jumatul Rofiah, turut dihadiri anggota komisi I lainnya, Elisa Bunga Allo dan Enos Pasaua, beserta sejumlah staf dari Bagian Humas dan Perundang-undangan Sekretariat DPRD Provinsi Sulteng.

Mereka diterima oleh Direktur Advokasi dan Kerjasama Desa, Kemendes PDTT, Muhammad Fachri bersama stafnya, di lantai II gedung B, Kemendes PDTT, Pancoran, Jakarta Selatan.

Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng, Wiwik Jumatul Rofi’ah, mengatakan, kunjungan ini berkaitan dengan pembahasan sejumlah rancangan peraturan daerah (raperda) yang sudah masuk dalam program pembentukan peraturan daerah (propemperda).

“Salah satunya adalah inisiatif dari komisi I DPRD Sulteng tentang pemberdayaan desa yang saat ini sedang dalam penyusunan naskah akademik. Raperda ini sudah masuk di propemperda, namun pembahasannya akan dilakukan di tahun 2024, jadi ini masih dalam tahap persiapan,” jelas Wiwik.

Karena masih dalam tahap persiapan, kata dia, maka pihaknya sengaja berkonsultasi ke Kemendes PDTT terlebih dahulu guna melengkapi apa yang direncanakan oleh komisi I tersebut.

Menurut Ketua Fraksi PKS itu, raperda ini dianggap penting agar bagaimana masyarakat desa perlu didampingi dalam pemberdayaannya.

Selain itu, kata dia, jika dikaitkan dengan desa, maka dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ada tiga sub urusan kewenangan provinsi di dalamnya, yaitu penataan desa, kerja sama desa, dan lembaga kemasyarakatan desa atau masyarakat hukum adat.

Wiwik juga menyinggung soal program pengentasan kemiskinan di desa. Selama ini, kata dia, soal penyelesaian kemiskinan lebih kepada sekadar pemberian sembako.

“Ini tentu tidak akan usai, makanya perlu ada pemberdayaan. BLT juga bukan solusi karena tidak mungkin seumur hidup diberi BLT. PKH juga demikian, kadang tidak tepat sasaran,” ungkapnya.

Tak hanya itu, masalah data yang masih bermasalah dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) juga menjadi fokus pembahasan dalam pertemuan tersebut. Menurut Wiwik, DTKS juga belum memberikan penyelesaian dalam pengentasan kemiskinan.

“Kemudian tidak terkoordinirnya antara pemprov, pemkab dan desa itu sendiri. Maka kemudian perlu diatur ketika ada dana desa dari pemerintah pusat, bagaimana pemprov dan pemkab juga perlu berperan disitu,” jelasnya.

Sekaitan dengan pengembangan desa wisata adat, kata Wiwik, Sulteng memiliki desa wisata adat bernama Tora yang ada di sekitaran Taman Nasional Lore Lindu yang selama ini belum terkelola dengan baik.

“Inilah tiga aspek yang kita akan atur dalam raperda, salah satunya terkait kerja sama desa. Mungkin bisa diatur kerja sama antar desa, misalnya desa satu dengan desa yang lain memiliki potensi berbeda atau hasil karya UMKM yang berbeda, maka provinsi bisa mengoordinir apa yang dihasilkan oleh desa tersebut,” ujarnya.

Sekarang ini, kata dia, ada UMKM di Sulteng yang sudah memiliki produk, menyusul adanya program one village one product. Namun, kata dia, kendala yang dihadapi adalah kesulitan di pemasaran.

“Sudah banyak produknya tapi tidak bisa dipasarkan. Jadi nantinya kalau ada desa yang produknya sudah ekspor, maka kita juga bisa bekerja sama dengan kementerian terkait,” imbuhnya.

Hal senada juga dikatakan anggota komisi I, Elisa Bunga Allo. Menurutnya, kehadiran mereka di Kemendes-PDTT adalah ingin mendapatkan banyak hal dalam rangka melengkapi dan memperkaya rencana raperda yang diinisiasi komisi I.

Anggota komisi I lainnya, Enos Pasaua, menanyakan bagaimana rumusannya jika masyarakat hukum adat tersebut masuk dalam raperda.

“Apakah sudah ada desa lain di Indonesia yang sudah membuat perda tentang itu,” tanyanya.

Terkait pertanyaan Enos Pasaua, Koordinator Kerja Sama, Kemendes PDTT, Minarni, mengatakan, sejauh ini sudah ada daerah lain yang membuat Perda tentang Lembaga Adat.

“Tetapi perda tersebut dalam rangka pelestarian lembaga adat. Misalnya terkait peran-peran lembaga adat di masyarakat,” jelasnya. (RIFAY)