OLEH: Abdissalam Mazhar Badoh*

Semua masyarakat telah mengetahui adanya kandidat yang terhubung oleh dukungan beberapa partai yang melebihi standarisasi KPU sebagai syarat untuk maju pada Pilkada periode 2024-2029.

Jalan seakan membentuk koalisi besar ini dengan mempertontonkan kekuatan finansial yang mumpuni dalam pandangan awam adalah hal lumrah, tapi dalam pandangan sosial kemasyarakatan dan politik secara umum adalah hal yang memanipulasi pemikiran awam terhadap hak demokrasi.

Apalagi bagi elite politik partai, hal ini adalah praktik pemaksaan kehendak otoriter keinginan yang sangat merugikan masyarakat.

Rasionalisasi terhadap cara ini, mau dibawa kemana saja, baik dalam pengambilan kebijakan dan rancangan aturan perda, bagaimana mengambil keputusan, kebijakan, imbauan maupun dalam pergaulan terhadap sesama pejabat pemerintahan dalam lingkaran komunitas kekuasan dan wilayah eksternalnya tetap akan berlaku sama, yaitu sesuai keinginan bapak. Apalagi.

Pola koalisi yang terpaksakan, sebelum terpilihnya dia dalam pilkada seperti akan sangat memberi background citra raja yang secara langsung bisa bertindak sesuka hati dan kemana dan bagaimana menurutnya. Sementara dia ini lahir sebagai penguasa dalam hajatan besar pemilihan kepala daerah yang berdasarkan demokrasi.

Dimana letak kekuatan rakyat sebagai elemen inti demokrasi pada kenyataan ini? Pada level apa citra sosial politik demokrasi masyarakat akan dihargai sebagai sarana multidimensi pemerintah sebagai instrumen besar inspirasi, mendapatkan dan mengelola serta mempertanggung jawabkan anggaran?
Siapa yang harus didengarkan dari masyarakat sebagai penyeimbang kapal besar pemerintahan karena semua telah terbeli?

Pembunuhan karakter demokrasi masyarakat atas nama koalisi paksaan partai ini harus segera disikapi lebih jeli oleh berbagai elemen masyarakat karena hal ini telah mengungkung dan membatasi ruang gerak demokrasi.

Kekuatan finansial dari figur peserta pilkada seharusnya tak dapat mengukur apalagi membeli prinsip baku pemikiran partai sebagai pijakan dasar perjuangannya dikancah regional, nasional dan internasional.

Adalah tindakan dan cara berpikir amat naif bagi partai politik yang rela menjual harga dirinya dengan mahar-mahar yang tidak masuk di akal.

Dengan demikian kalau kenyataannya sdh seperti ini berarti azas ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 apalagi partai yang berazaskan Islam telah terjual dan dibeli dengan harga murah dari jiwa-jiwa pemikir dan pejuang buruk yang menduduki kursi-kursi kepemimpinan partai.

Mau dibahasakan mahar politik, biaya saksi dan apapun itu, tetap kesan yang muncul di masyarakat adalah pembelian kursi partai. Padahal kursi partai tersebut milik masyarakat, entah bagaimana cara sang legislator memperolehnya (adalah cara edukasi demokrasi) tetap milik masyarakat, yang akan menggunakannya adalah calon-calon pemimpin masyarakat.

Mengapa harus dibayar? Mestinya pembayaran itu ke masyarakatan lewat cara bagaimana nantinya dia membuktikan ke masyarakat, beginilah saya memimpin, ini tanggung jawab saya, ini yang saya lakukan dan inilah fasilitas-fasilitas yang saya bangun untuk kesejahteraan masyarakat.

Walhasil sampai sejauh ini masyarakat masih tertipu dengan pola-pola intimidasi ala kapitalis dan komunis modern yaitu freemasonry. Gaya intelegensia kapitalis yang diperankan Amerika dan Komunis China.

Mari kita jaga demokrasi agar lurus dan bersih dari Pencitraan menyesatkan. Wallahua’lam

*Penulis adalah Ketua Dua Ikatan Alumni Alkhairaat Pusat Palu/Sekjen Sentral Cendekia Abnaulkhairaat Indonesia