JAKARTA – Kelompok massa dari Koalisi Anti SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation) melakukan unjuk rasa di Jakarta, Jumat (01/11), menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morowali agar membatalkan MoU BTIIG terkait penggunaan jalan desa.
Tak hanya itu, massa aksi gabungan dari Walhi, Jatam, KPA, Walhi Sulteng, YTM, AEER, Green Peace, Trend Asia, Jatam Sulteng, dan Serikat Pelajar NTT ini juga menuntut agar aparat menghentikan kriminalisasi pejuang agraria di Desa Topogaro dan Ambunu.
“Hentikan kriminalisasi dan pelanggaran HAM terhadap warga di lingkar industri nikel. Stop penggunaan jalan kantong produksi sebagai jalan holing PT BTIIG di Desa Topogaro dan Ambunu. Stop PLTU Captive yang menyebabkan polusi udara,” kata Moh Taufik, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng.
PT Baoshuo Taman Industri Invesment Group (BTIIG) adalah perusahaan pengolahan nikel yang hadir di Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Perusahaan ini membangun kawasan industri dengan nama Huabao Industrial Park di atas kawasan seluas 20.000 hektar (ha) yang terletak di 6 desa, yaitu Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Umpanga, Larebonu dan Desa Wosu.
Saat ini, pembangunan tahap satu dilakukan di Desa Topogaro, Tondo, dan Ambunu. Terdapat PLTU Captive berkapasitas 350 Mw, Fly over, Stock file ore, Smhelter, dan fasilitas lainnya.
Kata Taufik, selama proses pembagunan kawasan industri diwarnai dengan perampasan tanah masyarakat dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
“Salah gusur, mematikan produksi lahan, merubah jalur sungai, menimbun irigasi, reklamasi ilegal, pengrusakan mangrove dan pengambil alihan asset jalan desa secara sepihak adalah cara yang dipakai,” ungkapnya.
Sementara itu, Yusman dari Walhi Sulteng, mengatakan, konflik antara perusahaan dan masyarakat menjadi tidak terhindarkan. Aksi protes meningkat sejak tahun 2022, ketika lahan berisi tanaman seluas 14 ha milik petani di Desa Ambunu digusur pada malam hari.
“Sampai saat ini protes terus dilakukan dan puncaknya pada Juni-Juli 2024, ketika PT BTIIG mengklaim sepihak jalan desa di Desa Topogaro dan Ambunu untuk digunakan sebagai jalan holing. Bentuk protes dilakukan oleh masyarakat dengan memblokade jalan di dua desa tersebut,” katanya.
Menurutnya, jalan yang diklaim merupakan akses utama ke kebun. Jauh sebelum hadirnya perusahaan, akses itu sudah digunakan.
“Saat ini aktivitas kendaraan alat berat, abu jalan, dan bangunan penampung ore nikel di badan jalan sangat menganggu masyarakat,” ujarnya.
Senada dengan kedua rekannya, Siti Zulaika dari Perkumpulan Aeer, menambahkan, buntut dari aksi protes yang dilakukan, 5 warga Desa Topogaro atas nama Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, Safaat dan Sadam dilaporkan ke Polda Sulteng atas tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 pasal 162 tentang pertambangan dan minerba.
Kemudian lima warga Desa Ambunu yaitu Abd Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms dan Rifiana Ms. Mereka dilaporkan berdasarkan peraturan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 pasal 63 ayat 1 (junto) pasal 12 ayat 2 tentang Jalan.
“Tidak hanya sebatas melaporkan tindak pidana, akan tetapi perusahaan kembali menggungat perdata lima warga Desa Topogaro atas nama Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, Safaat dan Sadam dengan tuntutan Rp14 miliar atas kerugian materil dan in materil selama proses aksi blockade,” katanya.
Menurutnya, tindakan dilakukan oleh perusahaan, merupakan upaya untuk membungkam protes masyarakat yang berjuang mempertahankan hak atas kehidupanya dengan strategi SLAPP.
“Tidakan tersebut juga sebagai jalan untuk memuluskan ambisi pembagunan kawasan industri nikel yang berlabel Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Hilirisasi. Di perkirakan kedepanya angka kriminalisasi akan meningkat seiring dengan pembagunan kawasan yang terus dilakukan oleh perusahaan,” tambahnya.
Sebelumnya, Extermal Manager Huabao Indonesia, Cipto Rustianto, mengatakan, keberadaan PT BTIIG di Morowali adalah hasil koordinasi dan persetujuan pemerintah pusat serta daerah, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pihaknya menyatakan bahwa perusahaan tidak pernah melakukan penyerobotan jalan tani masyarakat, dan siap membuktikan hal tersebut dengan data dan fakta.
Mengenai tuduhan kriminalisasi, dia menjelaskan bahwa mereka selalu berupaya merangkul masyarakat setempat melalui pemerintah desa dan lembaga terkait. Ini diwujudkan melalui pemberdayaan masyarakat, program sosial, dan perekrutan tenaga kerja lokal.
Perusahaan menegaskan bahwa tuduhan kriminalisasi tidak berdasar dan selama ini mereka berkomitmen melindungi kepentingan masyarakat dalam beraktivitas ekonomi sesuai hukum berlaku.
Olehnya, ia mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan menyerahkan penanganannya kepada pihak berwenang. */IKRAM