Palu – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sulawesi Tengah menolak keras pernyataan dan narasi yang disampaikan Satuan Tugas BSH melalui media sosial. Narasi tersebut dinilai berpotensi menjadi bentuk pembungkaman, intervensi, serta pengendalian subjektif terhadap kerja jurnalistik di Sulawesi Tengah.
Ketua KKJ Sulawesi Tengah, Muhammad Arief, menegaskan bahwa pernyataan Satgas BSH telah melampaui kewenangan dan mencampuradukkan ranah jurnalistik dengan penegakan hukum. Padahal, kemerdekaan pers telah dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Kemerdekaan pers bukan objek pengawasan satuan tugas apa pun. Tidak ada lembaga selain Dewan Pers yang berwenang menilai, menghakimi, apalagi mengancam karya jurnalistik,” tegas Muhammad Arief dalam pernyataan sikap KKJ Sulawesi Tengah.
KKJ menegaskan bahwa karya jurnalistik tidak dapat dipidanakan. Setiap sengketa pemberitaan wajib diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pers, yakni hak jawab, hak koreksi, serta penilaian Dewan Pers.
Menurut KKJ, pelabelan karya jurnalistik sebagai “gangguan informasi”, malinformasi, atau istilah sejenis tanpa melalui penilaian Dewan Pers merupakan bentuk delegitimasi terhadap pers dan bertentangan dengan prinsip negara demokratis.
Selain itu, KKJ juga menilai pencantuman ancaman rekomendasi penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terhadap pemberitaan media sebagai bentuk intimidasi terselubung. Praktik tersebut dinilai bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi serta Nota Kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers.
“Ancaman hukum terhadap pemberitaan bukan hanya melanggar semangat reformasi pers, tetapi juga membuka ruang kriminalisasi jurnalis,” ujar Arief.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Agung Sumandjaya, menambahkan bahwa klarifikasi atas pemberitaan seharusnya dilakukan secara proporsional dan beradab, tanpa narasi yang menyudutkan media di ruang publik.
“Kritik yang dimuat media adalah bagian dari fungsi pers sebagai pilar demokrasi. Pejabat publik tidak boleh antikritik, apalagi menggunakan instrumen kekuasaan untuk menekan media,” kata Agung.
KKJ Sulawesi Tengah juga menilai keterlibatan Satgas BSH—sebagai lembaga bentukan Gubernur Sulawesi Tengah—dalam memberikan klarifikasi terbuka terhadap produk jurnalistik sebagai tindakan keliru dan tumpang tindih kewenangan. Klarifikasi pemberitaan, kata KKJ, merupakan hak pejabat atau juru bicara resmi, bukan satuan tugas.
Penyebaran narasi klarifikasi melalui media sosial yang menyudutkan media tertentu dinilai berbahaya karena berpotensi menggiring opini publik untuk tidak mempercayai kerja jurnalistik, memicu sentimen kebencian, serta membuka ruang intimidasi terhadap jurnalis.
Atas kondisi tersebut, KKJ Sulawesi Tengah mendesak Gubernur Sulawesi Tengah untuk menghentikan segala bentuk intervensi terhadap kerja jurnalistik, menghormati mekanisme penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers, serta menjamin tidak adanya intimidasi—baik langsung maupun tidak langsung—terhadap media dan jurnalis.
KKJ menegaskan bahwa pers bukan musuh pemerintah dan kerja jurnalistik tidak boleh dikontrol, diawasi, ataupun dibatasi melalui narasi sepihak di ruang publik.
“Kami akan melawan secara konstitusional setiap upaya yang merusak kemerdekaan pers dan mengancam hak publik atas informasi yang benar,” tegas Muhammad Arief.***

