PALU – Aksi pemurtadan kepada masyarakat Suku Tajio, di Desa Alindau, Kecamatan Sindue Tobata, Kabupaten Donggala, beberapa tahun lalu, menjadi perhatian serius sejumlah da’i yang tergabung dalam Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Kota Palu.
Para da’i ini tidak lain adalah tiga bersaudara, Ustadz Muhammad Afdal Zainal, Ustadz Abdul Shomad dan Ustadzah Asnidar bersama suaminya, Ustadz Arif Zakman.
Keempatnya baru saja mendapatkan penghargaan Dai Parmusi Award yang diberikan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Parmusi, H. Usamah Hisyam, dalam rangkaian Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II Parmusi, di Jakarta, Jumat, 27 Mei 2022 lalu. Selain penghargaan, keempatnya juga diberangkatkan umroh gratis bersama kedua orang tua mereka.
Ustadz Arif Zakman, Pengurus Daerah (PD) Parmusi Kota Palu/Da’i Pelaksana, yang ditemui di kediamannya, di Kelurahan Kawatuna, Selasa (31/05), menceritakan ikhwal kehadiran mereka di tengah masyarakat Suku Tajio, Pantai Barat Donggala itu.
“Kami bergabung di Parmusi ini sejak tahun 2017. Ketika itu kami berdua dengan Ustadz Shomad ditugaskan berdakwah kepada sekitar 33 Kepala Keluarga (KK) dari Suku Tajio. Waktu itu Bulan Ramadhan,” katanya, memulai kasih dakwahnya di suku pedalaman itu.
Sedianya, kata dia, masyarakat tersebut memang sudah memeluk agama Islam. Hanya karena kurangnya pembinaan, sehingga mudah dimasuki pemeluk agama lain untuk menyebarkan agamanya.
“Kalau dari Desa Alindau masuk ke dalam itu harus dua kali melewati sungai. Lebih mudah dengan kendaraan roda dua,” katanya.
Sesampainya di tempat itu, lanjut Ustadz Arif, ternyata masyarakat setempat nyaris sudah berpindah keyakinan ke agama lain. Pasalnya, kata dia, ada sebuah masjid yang dibangun pemerintah desa setempat, namun terbengkalai.
“Hampir mereka murtad. Pembangunan masjid terhenti karena hanya dinding tidak diplester yang berdiri. Tidak ada atap, tidak ada lantai, tidak ada jendela dan pintu. Jadi kadang anjing itu masuk ke dalam. Waktu kita ke sana, masyarakat menyampaikan kepada kami, ustadz, kalau tidak dibangun ini masjid, kami akan bangun gereja dan dananya sudah siap,” tuturnya.
Ia dan adik iparnya, Ustadz Abdul Shomad pun sontak kaget dan bergerak cepat menghubungi pengurus pusat, menceritakan perihal yang dialami oleh sasaran dakwah, kala itu.
“Alhmadulillah direspon dengan melanjutkan pembangunan masjid, bahkan sampai ditegel dan kini sudah bisa dipakai shalat lima waktu,” katanya bersyukur.
Tak hanya di bidang dakwah, ia bersama istri dan adik-adik iparnya juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kegiatan dimaksud diawali ketika gempa bumi menimpa sejumlah wilayah di Sulteng Tahun 2018 silam.
Saat itu, kata dia, ia bersama sejumlah da’i Parmusi dilibatkan selama tiga bulan, masing-masing satu bulan di Kota Palu, Sigi dan Donggala.
“Kemudian kami juga turun langsung membantu korban bencana gempa bumi di Sulawesi Barat (Sulbar) dan banjir di Sigi. Jadi bukan cuma ceramah pembinaan di pelosok-pelosok, kami juga aktif membina para penyandang disabilitas di Kelurahan Nunu,” ujarnya.
Ia pun menyampaikan rasa syukur atas apa yang telah mereka peroleh saat ini, salah satunya adalah penghargaan dari Parmusi Pusat dan berkah lain yang telah didapatkan.
“Alhamdulillah yang kami syukuri, kami bersaudara semua dapat penghargaan. Sesungguhnya kami tidak pernah mengharapkan itu, tapi kemungkinan ini adalah penilaian tersendiri dari Parmusi Pusat,” tutupnya.
Di tempat yang sama, Ustadz Muhammad Afdal Zainal, menambahkan beberapa program yang telah dijalankan Parmusi selama ini
Beberapa program yang dimaksud, di antaranya pembinaan kepada sekitar 100 disabilitas di Rumah Berkarya dan majelis taklim yang mengaku tidak memiliki dana untuk mengundang penceramah atau da’i.
“Kami katakan kami akan datang dengan niat lillahi ta’ala. Saya juga salut dan berterima kasih atas dedikasi teman-teman lain di Parmusi yang siap diajak dakwah ilallah,” katanya.
Kemudian Program Jumat Berkah, di mana tiap ba’da Jumat berbagi di tempat-tempat kaum dhuafa, yatim piatu ataupun di tempat orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Program sosial lainnya, aktif memberikan buka puasa santri tahfidz, seperti pada program daurah selama enam bulan yang diadakan di Islamic Center milik MUI Provinsi Sulteng yang terletak di Tinggede Selatan, Kabupaten Sigi.
“Pembinaan-pembinaan di luar Kota Palu sampai kami pernah turun di Awesang, wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala,” katanya.
Di lingkup Kota Palu sendiri, mereka juga aktif melakukan pembinaan di wilayah pinggiran, seperti di Dusun Salena, Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi.
“Teman-teman da’i maupun kader yang rutin datang ke sana, seperti Ustadz Muhammad Rizki yang datang setiap hari Sabtu. Kemudian, pengadaan pipa air di Bukit Paipopa, Paniki, Desa Pombewe, Kabupaten Sigi tepatnya di Pondok Pesantren Interprenur. Kami juga pernah naik ke Bukit Ngatabaru, di Dusun Tompu, menyalurkan dana pembangunan masjid. Kami juga punya program pembagian 1000 mushaf hafalan Al-Qur’an,” urainya.
Tak sampai di situ, pihaknya juga memiliki program membantu orang-orang sakit, semisal diabetes, tumor, kanker dengan metode ruqyah syariah, bantuan obat dan ruqyah massal.
“Setiap kegiatan inilah yang kami laporkan ke pusat sehingga itu mungkin yang menjadi penilaian sehingga mendapatkan apresiasi. Kami bergerak tidak mengadakan proposal ke instansi-instansi tapi bergerak dengan kemauan, ketika ada kemauan pasti ada jalan.
Hal senada juga disampaikan Ustadz Abdul Shomad. Menurutnya, dedikasi dan pengabdian di bidang dakwalah yang mengantar mereka bersaudara bisa mendapatkan penghargaan dari Parmusi Pusat.
“Bukan hanya di dalam Kota Palu saja, tetapi terjun di setiap kabupaten. Kami bertiga bersama dengan Kakak Ustadzah Asdinar ikut serta berdakwah mulai dari perkotaan sampai pedesaan, bahkan pelosok terpencil yang sangat jarang dimasuki oleh da’i,” katanya.
Ia mengatakan, da’i-da’i dan ustadz di dalam kota begitu banyak, tetapi untuk tersentuh terjun langsung ke daerah primitif atau ke kaum disabel dan lainnya, sangatlah jarang. Itulah yang membuat ia dan saudara-saudaranya prihatin sehingga memilih turun ke lokasi-lokasi tersebut.
“Itu panggilan nurani kami untuk berdakwah di jalan Allah Subhanahu Wa Taala, dan ini bukan baru satu atau dua tahun kami lakukan,” kata dosen pengajar di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tadulako (Untad) itu.
Sementara itu, sang kakak, Ustadzah Asniadar, S.Pd.i., M.Pd.I, yang turut hadir di kesempatan itu, mengatakan, dari beberapa ormas yang ia ikuti, Parmusilah yang membuatnya bertahan sampai saat ini.
Wanita yang aktif sebagai dosen di Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu itu pun menceritakan banyak hal yang dialami selama bergabung di Parmusi. Ia mengaku sering ditanya, berapa gaji yang ia dapat di Parmusi sampai harus berjuang seperti saat ini dan selalu membawa nama Parmusi.
“Saya jawab, Insya Allah, saya yakin ketika kita bantu agama Allah, maka Allah akan bantu semua kebutuhan kita. Kepada adik-adik saya katakan, mari kita rekrut teman-teman sevisi dan misi, kami panggil teman-teman tanpa ada iming-iming ada insentif dan sebagainya. Saya katakan, mari kita berjuang sama-sama, biarkan Allah yang mengatur rejeki kita,” tuturnya.
Ia mengatakan, dalam beberapa kali perekrutan, ada sekian banyak orang yang berguguran dan tidak mampu bertahan di jalan dakwah Parmusi. Namun, kata dia, adapula yang bertahan sampai saat ini.
“Ada da’i yang kita bina dari SMA, sampai kuliah sekarang ini masih tetap bertahan di Parmusi. Mudah-mudahan ketika kami tidak ada lagi, dia bersama teman-teman yang lain tetap berjuang untuk menggerakkan Parmusi,” harapnya.
Ia pun selalu menekankan kepada para da’i yang turun lapangan agar bergerak produktif, bukan konsumtif, dalam artian produktif bergerak, ada dana atau tidak ada.
“Kalau konsumtif, maka orang baru mau bergerak ketika ada dana. Alhamdulillah, hadirnya Parmusi ini membawa semangat dan energi yang lebih dari yang lain, ada semangat baru dan gairah baru sehingga kita tidak pernah merasa lelah,” tandasnya. (RIFAY)