OLEH: Moh. Ahlis Djirimu*
Paul R. Krugman (1997), pemenang hadiah Nobel Bidang Ekonomi Tahun 2008 pernah menyatakan bahwa “Productivity isn’t everything, but in the long run it is almost everything. A country’s ability to improve its standard of living over time depends almost entirely on its ability to raise its output perworker”. Produktivitas bukan segalanya, tetapi dalam jangka panjang produktivitas merupakan hampir segalanya.
Kemampuan suatu negara meningkatkan standar hidup sepanjang waktu tergantung kepada kemampuannya untuk meningkatkan output per tenaga kerja.
Krugman menekankan pada pembentukan mutu modal manusia sebagai factor utama menentukan produktivitas lalu menentukan daya saing suatu daerah atau bangsa.
Asian Competitiveness Index (ACI) pernah merilis data peringkat daya saing 34 provinsi di Indonesia. Peringkat Sulteng terdegradasi. Sulteng pernah di peringkat 14 di Tahun 2016 meningkat di Tahun 2017 pada peringkat 12, lalu di Tahun 2018 kembali lagi ke peringkat 14 dan pada akhirnyater downgraded ke peringkat 19 di Tahun 2019.
Saat ini daya saing terlahir dari produktivitas. Produktivitas diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dibagi dengan kesempatan kerja yang tercipta.
Produktivitas terlahir dari kompetisi dan kompetisi hanya dimenangkan oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi. Daya saing tidak lagi serta merta ditentukan hanya karena efisiensi ekonomi dan efisiensi tehnis, tetapi ditentukan juga oleh aspek kolaboratif. Kolaboratif melahirkan inovasi.
Ada berbagai macam faktor yang menentukan kinerja daya saing melalui produktivitas yaitu upah, kondisi kerja, keamanan kerja, umur harapan hidup yang merepresentasikan kesehatan, investasi pendidikan, mutu pendidikan, dan lain-lain.
Faktor pertama yang berpengaruh pada daya saing adalah pendidikan. Pendidikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang cepat di negara-negara Asia dan perubahan agresif dalam produksi menuju industri dan jasa berteknologi tinggi mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari dunia usaha terhadap perlunya SDM yang terampil yang terdidik dan berkualitas.
Sumber daya manusia sebagai tenaga kerja sangat diperlukan keterampilannya dalam melaksanakan tugas, meningkatkan kualitas organisasi dan menunjang pertumbuhan ekonomi.
Sebagai indicator pertama penentu produktivitas tenaga kerja Sulteng, pendidikan diukur dari Harapan Rata-Rata Lama Sekolah (HLS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Pada dimensi pendidikan ini, Sulteng lebih tinggi ketimbang Indonesia.
Pada Tahun 2019, Angka Harapan Rata-rata Lama Sekolah (HLS) Sulteng lebih tinggi daripada nasional masing-masing mencapai 13,14 tahun bagi Sulteng dan 12,95 tahun bagi Nasional atau lebih tinggi 0,22 poin. Sedangkan rata-rata Lama Sekolah Sulteng mencapai 8,75 tahun atau pada kelas II SMP/MTs 75 hari dan Rata-Rata Lama Sekolah Nasional 8,34 tahun atau lebih tinggi 0,41 poin (BPS Sulteng; 2020).
Angka dimensi pendidikan ini patut kita pacu karena sewaktu-waktu dapat dilampaui RLS dan HLS nasional. Capaian dimensi ini patut dipertahankan bahkan lebih dipacu lagi terutama pada kabupaten yang masih tertinggal HLS dan RLSnya di Sulteng.
Namun, kita tidak perlu berpuas diri atas capaian ini, karena kemampuan mata pelajaran IPA, Matematika anak didik kita masih tertinggal ketimbang daerah lain.
Kompetensi Guru Mata Pelajaran berada pada peringkat 29 (50,13 poin), Kompetensi Kepala Sekolah berada pada peringkat 27 (54,23 poin), Kompetensi Pengawas peringkat 24 (54,49 poin) juga masih tertinggal.
Selain itu, hasil akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah patut dijadikan rujukan dalam merumuskan kebijakan Pendidikan di daerah.