KIARA: Tanggul Laut adalah Respon Keliru

oleh -
Dua alat berat excafator tengah beroperasi merapikan susunan batu untuk dibentuk menjadi tanggul dibibir Pantai Teluk Kota Palu tak jauh dari tempat para nelayan memarkirkan Sampan/Perahunya usai melaut, Kamis (9/4). (FOTO: MAL/FALDI)

PALU – Pemerintah merespon akan membangun tembok raksasa  atau lebih dikenal sebagai Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall) di sepanjang pesisir Teluk Palu.  Pembangunan tanggul setinggi 7 meter dan sepanjang 7,4 km ini dianggap akan meminimalisir dampak apabila bencana tsunami melanda.

Sekertaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan
Herawati, mengatakan, apa yang menjadi respon pemerintah dalam meminimalisir dampak bencana tsunami, merupakan respon yang sangat keliru.

“Pembangunan Giant Sea Wall tidak hanya akan berdampak pada lingkungan namun juga bagian dari praktik perampasan ruang terhadap nelayan di wilayah Teluk Palu.

“Banyak nelayan yang wilayah pesisirnya terdampak harus beralih profesi akibat terhambatnya akses mereka terhadap laut. Pembangunan tanggul laut juga tidak mendukung lingkungan yang berkelanjutan,” ungkapnya
kepada wartawan Ahad (11/4).

BACA JUGA :  JATAM Ajak Komnas-HAM Ikut Mendesak Polda Sulteng Tertibkan PETI Poboya

Karena itu, KIARA bersama dengan CCFD dan AFD berusaha membangun pengetahuan dan partisipasi nelayan dan masyarakat pesisir wilayah Palu, Sulawesi Tengah, terkait dengan upaya mitigasi kebencanaan yang berkelanjutan melalui restorasi pantai maupun pembangunan green belt laut di wilayah pesisir masing-masing wilayah.

Di Kelurahan Panau salah satu contohnya, keteguhan masyarakat pesisirnya dalam membangun ekologi pantai dan laut yang sehat tercermin dalam kegigihan masyarakatnnya dalam mempelajari berbagai jenis tanaman mangrove, penyemaian, pembibitan, hingga penanaman yang dilakukan bersama KIARA.

BACA JUGA :  Tim Kampanye BerAmal Serap Aspirasi Warga Kepulauan Terluar Sulteng

Tidak sampai disitu, masyarakat pesisir dan nelayan Desa Panau juga membentuk kelompok mangrove dalam wilayahnya yang artinya ‘satu keluarga’ atau ‘bersatu’.

Rep: Faldi
Ed: Nanang