PALU – Surah Albaqarah ayat 183 menerangkan, bahwa kewajiban menjalankan ibadah puasa tidak hanya kepada umat Nabi Muhammad Shallah ‘alaihi wasalam saja. Melainkan umat-umat terdahulu pun diwajibkan berpuasa. Hal itu disampaikan Rais Syuriyah PBNU KH. Zainal Abidin dalam ceramah Ramadhan di Masjid Al Abrar, Selasa, (3/4) malam.
Menurut KH. Zainal Abidin, berpuasa dapat juga diartikan menahan diri, dan senantiasa menghadirkan Tuhan di mana pun berada. Selain itu, esensi keimanan yang disebutkan dalam ayat Alquran, dapat diartikan Tuhan selalu hadir dalam segala aktivitas.
“Apa itu imanan? Imanan itu bukan hanya sekadar mempercayai ada Tuhan. Imanan itu, Tuhan hadir, di mana pun kita berada, kehadiran Tuhan selalu hadir.
“Itulah sebabnya orang yang berpuasa itu, para ulama berpendapat, Tuhan harus hadir, sehingga kita tidak melakukan perbuatan kecuali Tuhan selalu hadir itulah inti orang berpuasa,” jelas Zainal Abidin.
Ia melanjutkan, puasa juga artinya intropeksi diri apakah selama ini telah melakukan hal-hal yang baik. Jika itu dilaksakan selama berpuasa, Insya Allah dosa-dosa dihapuskan dan amal kebaikan akan diterima Allah Subhana wa ta’ala.
Ketua MUI Kota Palu itu juga menerangkan, kategori musafir yang tidak diwajibkan untuk berpuasa yang disebutkan dalam Alquran. Ia menjelaskan, saat ini para ulama berpendapat bahwa musafir tidak lagi dikategorikan sebagai jarak tempuh perjalanan. Musafir kata dia, tidak lagi berbicara soal jarak, tetapi adalah kesulitan dalam perjalanan.
“Anda mau berangkat ke Poso, dengan jarak tempuh 200 kilo lebih. Anda bisa disebut musafir karena dapat dipastikan akan menemui kesulitan dalam perjalanan.
“Tetapi kalau ke Ujung Pandang (Makassar-red), yang jarak cukup jauh, dan tidak diwajibkan berpuasa karena alasan menumpangi pesawat,” tambahnya.
Di sinilah terjadi perbedaan pendapat. Ia berharap perbedaan dan perdebatan tersebut dapat menjadikan umat menjadi dewasa terhadap pandangan-pandangan tersebut.
Reporter: Nanang IP/Editor: Nanang RL