PALU – Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Wiwik Jumatul Rofi’ah terus memberikan edukasi kepada masyarakat terkait arah kebijakan pembangunan serta politik anggaran yang ada di DPRD.
Edukasi yang dimaksud dilakukan dengan menekankan kepada masyarakat yang ingin mengajukan usulan program yang ingin dibiayai, agar selaras dengan arah kebijakan pembangunan, baik yang tersusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).
“Misalnya ada yang usulkan pembangunan fisik, maka kita perlu juga melihat dokumen RPJM atau tata ruang. Jangan sampai, usulan masyarakat itu tidak sesuai dengan arah kebijakan. Olehnya itu, dalam setiap reses, saya mendorong masyarakat untuk mau belajar tentang arah kebijakan pembangunan di daerah kita, agar apa yang mereka usulkan dan kemudian kita advokasi melalui pokir (pokok pikiran), selaras dengan tujuan pembangunan,” ujar Bunda Wiwik, sapaan akrabnya, Selasa (30/08).
Ia mengatakan, setiap Anggota DPRD di Provinsi Sulteng memiliki hak untuk mengusulkan program yang harus diakomodir oleh APBD setiap tahunnya. Hak tersebut, kata dia, dulunya dikenal dengan nama anggaran aspirasi, namun saat ini diganti dengan istilah anggaran pokok-pokok pikiran (pokir).
“Pokok pikiran dewan, karena merupakan aspirasi maka merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu proses mulai dari perencanaan hingga eksekusi pembangunan. Baik fisik, maupun pembangunan non fisik,” kata Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng itu.
Dalam setiap reses yang dilakukan, ia juga selalu menyiapkan form usulan program. Seluruh masyarakat yang hadir dalam reses, diberikan form tersebut untuk diisi terkait apa saja usulan yang mereka sampaikan. Hal ini dilakukan karena reses di satu titik, biasanya hanya dilaksanakan paling lama 120 menit atau dua jam. Sedangkan yang hadir, kata dia, biasanya melebihi target yang ditetapkan, yakni 100 orang.
“Coba bayangkan, 100 orang saja kalau semua diberikan kesempatan bicara 2 menit, durasinya sudah 200 menit. Tidak cukup waktu. Lagipula, di antara masyarakat yang hadir itu punya keinginan, tapi tidak sanggup menyampaikan. Makanya, dengan form tersebut, saya dapat menampung banyak aspirasi masyarakat,” katanya lagi.
Lebih lanjut ia mengatakan, pokir yang disusun dan menjadi usulan adalah aspirasi masyarakat yang diserap anggota DPRD melalui berbagai sumber. Bisa melalui reses atau jaring aspirasi, melalui usulan lewat jalur partai, atau bisa juga anggota masyarakat yang datang ke DPRD menyampaikan aspirasinya.
“Reses adalah yang dominan dalam inputan pokir. Kenapa boleh juga lewat jalur partai, karena keberadaan kami di DPRD ini sebagai perpanjangan tangan partai,” jelasnya.
Edukasi lain yang dilakukan Bunda Wiwik adalah soal aspirasi yang harusnya disampaikan setahun sebelum penyusunan anggaran.
Menurutnya banyak kelompok masyarakat yang datang, baik ke ruangan fraksi, ruang kerja masing-masing anggota DPRD, bahkan ada yang datang ke kediaman, membawa proposal kegiatan. Sayangnya, kata dia, karena dibawa di saat mendekati kegiatan, sehingga bantuan yang diberikan, juga hanya ala kadarnya, karena diambil dari kantong pribadi anggota DPRD.
“Kalau dari dana pribadi tidak mungkin memenuhi semua yang diminta dalam proposal. Tetapi kalau mau programnya, sepenuhnya dibantu dan diakomodir melalui APBD, maka harus masuk dalam usulan pokir. Sementara pokir juga harus diajukan dan sudah harus diinput ke SIPD, setahun sebelum penetapan APBD,” tandasnya. *