Pada satu hari, Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-Azdi berjalan dari Balkh untuk berangkat ke Mekah. Saat melalui kota Baghdad, dia dipanggil mengadap Khalifah Harun ar-Rasyid. “Engkaukah Syaqiq yang selalu berulah itu?” tanya Harun ar-Rasyid sebaik Shaqiq datang menghadap.

“Ya, Akulah Syaqiq, tapi aku bukan seorang yang alim” jawab Shaqiq.  Tidak mengapa aku cuma mau mendengar nasihatmu” . Berilah aku nasihat!” sambutnya setelah Syaqiq tiba di hadapan sang Khalifah.

“Jika demikian, maka dengarkanlah wahai Khalifah,” Syaqiq mulai angkat bicara, “Allah yang Maha Besar telah memberi kedudukan Abu Bakar dan Dia menghendaki kesetiaan darimu. Allah memberikan kedudukan Umar yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan, maka Ia menghendaki hal yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan Utsman yang memiliki kesederhanaan dan kemuliaan. Ia juga menghendaki engkau bersikap sederhana dan mulia. Allah telah memberikan kedudukan Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, maka bijaksana dan adillah.”

Khalifah tampak sungguh-sungguh mendengarkan uraian Syaqiq, “Lanjutkan,” pinta Harun kemudian.

“Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka,” kata Syaqiq, “Ia mengangkatmu menjadi penjaganya dan mempersenjataimu dengan tiga hal: kekayaan, pedang, dan cemeti untuk mengusir manusia dari neraka. Jika ada yang datang meminta pertolonganmu, janganlah bersikap kikir. Jika ada yang menentang perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cemeti, dan jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang itu.”

“Tambah lagi,” desak Harun.

“Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya tidak akan keruh anak-anak sungai itu. namun apabila telaga itu keruh, bagaimana mungkin anak-anak sungai akan bening?”

“Teruskan!” seru Harun penasaran.

“Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan segelas air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?”

“Aku akan memberikan setengah dari kerajaanku,” jawab sang khalifah dengan mantap.

“Kemudian andaikan pula air yang telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari tubuhmu sehingga engkau terancam binasa,” kata Syaqiq, “Maukah engkau menyerahkan kerajaanmu yang separuhnya lagi untuk mendapatkan kesembuhan?”

“Akan kuterima tawaran itu,” tegas Harun.

“Maka mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya segelas air yang engkau minum lantas engkau keluarkan lagi?”

Demi mendengar itu, Harun pun menangis. Tak lama kemudian, ia melepas kepergian Syaqiq dengan penuh kehormatan.

Sering dalam hidup kita, kita berbangga dengan apa yang kita miliki, walaupun zahirnya dibibir kita merendah diri dan menafikan. Tapi perlakuan, dan riak wajah serta bahasa tubuh kita, menjurus agar orang lain memandang tinggi dan menghormati kita.

Kita ujub (kagum pada diri sendiri). Di bibir kita tidak meninggi, di wajah kita tidak sombong, tapi di hati kita sering punya lagak, punya bongkak. Walhal apa saja milik kita. hanya sementara.

Maka yang demikian, marilah kita sentiasa muhasabah diri, agar kita tidak sesekali bersifat sum’ah yakni, sengaja menceritakan kepada orang ramai agar didengar oleh orang lain, berharap orang lain memberikan pujian dan sanjungan yang tinggi dan memandang diri kita sebagai mulia.

Mungkin orang tidak tahu, tapi Allah dengan keagungan sifat Basar dan Alim-Nya, lansung tiada hijab untuk melihat dengan nyata.  Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)