Siapa yang tidak kenal Ikrimah? Putra Abu Jahal ini demikian keras memusuhi Rasulullah saw. Bahkan, aktif mengangkat senjata bersama pasukan kaum musyrikin Makkah menyerang kaum Muslimin Madinah.
Ayahnya, Abu Jahal tak kurang perbuatan jahatnya dalam menghalangi Rasulullah SAW. Anak yang tumbuh dalam suasana kebencian terhadap Islam, bisa jadi terdampak dan memiliki kebencian yang sama. Itu yang terjadi pada sosok Ikrimah, pada mulanya.
Seperti halnya ayahnya, Ikrimah adalah penentang Islam ketika dakwah mulai merekah di Makkah. Cap musuh Allah disematkan kepadanya bersama sang ayah.
Saat Fathul Makkah, semua kaum Quraisy Makkah menyerah tanpa syarat termasuk pemimpin mereka Abu Sufyan.
Namun tidak begitu dengan Ikrimah. Jiwa pemberontakannya begitu tinggi. Meski ia sadar kalah jumlah, ia terus mengobarkan perlawanan terhadap kaum Muslimin. Ia menyerang kavaleri pasukan Rasulullah. Ikrimah terdesak dan akhirnya kabur hingga Yaman.
Saat penduduk Makkah terbuka hatinya menerima Islam, Ikrimah justru masih berkutat dengan kegelapan.
Hidayah, memang hanya milik Allah SWT. Maka sungguh sejatinya tak pantas bagi kita mencap seseorang adalah musuh abadi dakwah. Kita, manusia yang amat lemah ini, tak paham bagaimana skenario perjalanan hidup seseorang. Dan Ikrimah membuktikannya.
Cahaya Islam merasuk ke dadanya, saat ia justru berada dalam puncak permusuhan terhadap Islam.
Ikrimah membuktikan imannya tak sekadar kedok untuk menyelamatkan nyawa. Ia yang tadinya amat bernafsu membunuh kaum Muslimin, kini menjadi sosok yang rela terbunuh demi tegaknya Islam. Pengorbanan nyawa adalah pengorbanan yang amat tinggi.
Di sisi lain tersebutlah, Abu Thalib bin Abdul Muthalib adalah seorang pembela dan pendukung perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan Islam.
Kala itu, kaum Quraisy merasa terancam ketika Nabi SAW mendakwahkan ajaran Islam dan mereka berharap kepada Abu Thalib untuk menghentikan keponakannya itu agar tidak menyebarluaskan agama Islam.
Meskipun tekanan dan teror terus datang dari kaum Quraisy, Abu Thalib tetap mempertahankan dukungannya terhadap Nabi SAW dalam menyebarkan dakwah Islam.
Sayangnya, meski berstatus sebagai paman yang membesarkan dan membela Nabi SAW, Abu Thalib hingga akhir hayatnya tidak mengimani ajaran Islam yang disampaikan Nabi SAW, keponakannya sendiri.
Nabi SAW pun pernah berdoa. “Semoga syafaatku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu, dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keprihatinan mendalam dirasakan Rasulullah yang ingin mengislamkan pamannya. Namun, Allah SWT tak memberikan hidayah kepada pamannya itu. “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS al-Qashshash: 56).
Hidayah merupakan hak prerogatif Allah yang hanya diberikan kepada manusia yang dikehendaki-Nya.
Bersyukurlah kita yang meski hidup jauh dari zaman Nabi SAW dan para sahabatnya, kita diberi nikmat berupa hidayah untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Hal ini merupakan atas kehendak dan ridha Allah SWT.
Dengan menyadari bahwa kita yang bukan siapa-siapa ini diberikan hidayah oleh Allah untuk mengenal keagungan-Nya, maka sudah selayaknya kita banyak bersyukur atas hal tersebut.
Selain itu, kita juga harus terus menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya agar nikmat keimanan itu tak lepas dari badan. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)

