PALU – Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Sulawesi Tengah (Sulteng), Muhammad Rizal, mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi pengembang dalam membangun perumahan.
Rizal, usai dilantik bersama sejumlah pengurus DPD Apersi Sulteng, di Palu, Senin (02/12), mengatakan, kehadiran DPD Apersi adalah wujud dari keinginan pengembang untuk menyukseskan salah satunya adalah program pemerintah, yaitu membangun 3 juta rumah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).
“Meskipun kami tahu bahwa ada tantangan-tantangan yang cukup spesifik di Palu dan Sigi. Salah satu komponen penting dalam pembangunan perumahan adalah ketersediaan air. Sementara kita tahu bahwa suplai air di Palu Sigi ini, meskipun Pam Uweta sudah ada, tapi belum beroperasi. Kita juga tidak tahu apakah Pam Uweta nanti bisa menjangkau lokasi lokasi perumahan,” ungkapnya.
Sementara, kata dia, jika pengembang yang akan menyediakan air sendiri, tentunya akan diperhadapkan pada pengenaan pajak air tanah.
“Nah, ini saya pikir masih perlu kita kaji. Jadi kita mohon kepada pemerinta agar pengenaan pajak air tanah ini mungkin bisa ada pengecualian-pengecualian, khususnya di Kota Palu, Sigi atau di Sulawesi Tengah secara umum,” harapnya.
Tantangan selanjutnya, kata dia, kondisi di Palu dan Sigi yang dilewati Sesar Palu Koro, ditambah pemahaman masyarakat secara umum, bahwa rumah harus landed atau berdiri langsung di atas tanah.
“Jadi tantangan kita itu adalah lahan yang terbatas, sementara masyarakat ini terus bertumbuh. Kita masih khawatir untuk tinggal di rumah susun atau apartemen. Itu mungkin berlaku secara nasional. Terutama kalau di Palu karena untuk tinggal di gedung-gedung tinggi itu agak khawatir,” ujarnya.
Terkait tantangan-tantangan yang dihadapi para pengembang tersebut, Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah, berharap ada solusi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah untuk bisa menyiapkan jaringan air.
“Nah ini perlu dibicarakan. Jangan sampai gara-gara hal demikian, teman-teman jadi bermasalah dengan para pihak yang akhirnya program ini menjadi blunder dan akhirnya menghambat program pemerintah itu sendiri (pembangunan 3 juta rumah),” ujarnya.
Terkait program ini, ia juga meminta agar pemerintah yang terkait dengan ekosistem perumahan, harus mensupport dengan maksimal. Jangan sampai di antara ekosistem saling menghambat atau ada institusi-institusi yang tidak kompak.
Junaidi juga menyinggung adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri dalam hal penghapusan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) dan retribusi PBG (Persetujuan Bangunan Gedung).
“Saya sampaikan ke pemerintah daerah yang hadir pada kesempatan ini, sebenarnya penghapusan ini tidak menurunkan PAD, tapi justru akan menaikkan PAD dari efek pembangunan rumah,” jelasnya.
Ia menceritakan pengalaman di tahun 2020 lalu ketika banyak industri yang mengalami gangguan akibat covid-19. Namun, kata dia, bisnis property waktu itu justru meningkat singnifikan.
“Industri ikutannya seperti genteng, semen dan sebagainya itu tetap berjalan, itulah efek domino. Kenapa ini (BPHTB dan PBG) dihapus, ternyata memang inilah yang selama ini menjadi hambatan pembangunan rumah untuk masyarakat,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa KPR komersil itu murni bisnis. Berbeda dengan KPR bersubsidi yang murni untuk rakyat kecil atau MBR. (RIFAY)