MINGGU, 18 Juli 2004, menjadi hari kelam yang tak terlupakan baginya. Pada malam itu, sebuah peristiwa tragis terjadi di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Jemaat Effatha, Jalan Banteng, Kelurahan Birobuli Selatan, Kecamatan Palu Selatan. Susianti Tinulele, seorang pendeta gereja tersebut, ditembak mati saat memimpin kebaktian oleh anggota kelompok kekerasan dari Poso, dengan tersangka utama Basri.

Tragedi tersebut juga menjadi mimpi buruk bagi Desriyanti, yang saat itu berusia 16 tahun dan duduk di kelas III SMA di Kota Palu. Sebagai anak pertama dari delapan bersaudara, Desriyanti menghadiri kebaktian malam itu tanpa menyangka bahwa hidupnya akan berubah selamanya. Suara letusan yang awalnya dikira petasan ternyata adalah suara tembakan yang merenggut nyawa dan melukai banyak orang. Desriyanti sendiri terkena tembakan di pelipis kiri, yang menembus mata dan hidungnya, membuatnya tak sadarkan diri.

Desriyanti segera dilarikan ke Rumah Sakit Bala Keselamatan di Kota Palu untuk mendapatkan perawatan medis. Namun, fasilitas yang terbatas membuat para dokter tidak berani melakukan tindakan medis lebih besar. Tiga hari kemudian, ia diterbangkan dan dirujuk ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut (RSPAL) dr. Ramelan di Surabaya, Jawa Timur, untuk menjalani serangkaian operasi.

Meskipun telah menjalani tiga operasi besar, luka fisik dan emosional yang dialaminya tetap membekas. Kembali ke Palu, Desriyanti harus menerima kenyataan bahwa wajahnya yang dulunya sempurna kini cacat, terutama pada bola mata kirinya. Namun, ia memutuskan untuk tidak larut dalam kesedihan. Dengan tekad kuat, Desriyanti kembali melanjutkan sekolahnya, meskipun harus bolak-balik antara Palu dan Surabaya untuk perawatan medis. Ketika mengikuti Ujian Akhir Nasional, ia menjalani operasi kedua untuk memperbaiki tulang hidung yang hancur akibat proyektil. Hingga kini, penciumannya tidak lagi normal.

“Saya mematri dalam diri, saya harus kuat dan tetap menjalani hidup ini, meski tak sedikit orang di sekitar saya yang mengeluarkan kata-kata hinaan karena kondisi wajah saya,” katanya, dengan air mata yang terus mengalir.

Hinaan dan cemohan dari lingkungan sekitar justru dijadikannya sebagai motivasi untuk bangkit. Menurutnya, Tuhan tidak mungkin meninggalkannya, dan akan selalu memberi kekuatan kepada hamba-Nya.

“Setiap kata-kata yang menyakitkan hati saya anggap sebagai ujian,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Pada tahun 2008, Desriyanti kembali ke Surabaya untuk menjalani operasi ketiga. Karena keterbatasan biaya, ia dan orang tuanya menghadap Wakil Walikota Palu saat itu, Suardin Suebo, yang kemudian menawarkan Desriyanti pekerjaan sebagai tenaga honorer di Sekretariat Pemerintah Kota Palu setelah operasi selesai. “Oh Tuhan, kok saya bisa kerja di sini, saya orang biasa, bukan sarjana,” kenangnya.

Sejak September 2008, Desriyanti mengabdi sebagai tenaga honorer di Pemkot Palu. Meskipun sudah 16 tahun bekerja, ia belum diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). “Jika Tuhan berkehendak, mungkin di penerimaan P3K saya bisa diterima. Semua saya serahkan pada Yang Maha Kuasa,” ujarnya penuh harap.

Dalam perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, Desriyanti tidak ingin bergantung pada belas kasihan orang lain. “Saya pantang meminta-minta. Saya tahu rezeki itu dari Tuhan, ada-ada saja berkat yang Dia beri di luar akal pikiran manusia. Masalah saya besar, tapi Tuhan saya lebih besar,” tuturnya tegas.

Desriyanti kini menjalani kehidupan yang lebih baik, meski dengan keterbatasan fisik. Ia menikah dengan Jhon, seorang tenaga honorer Satpam di Rumah Sakit Madani, dan telah dikaruniai seorang anak lelaki yang kini duduk di kelas 2 SMP.

Melalui kisah hidupnya, Desriyanti berharap agar pemerintah lebih memperhatikan keamanan dan menjaga toleransi beragama di masyarakat. “Kita harus saling menghargai dan tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang bisa merusak hubungan yang telah terjaga,” pungkasnya.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG