Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Kebebasan Pers dan Pentingnya Penerapan Pasal 18 UU Pers
“Maaf, saya masih trauma, belum mampu bercerita secara gamblang atas kriminalisasi itu. Ketakutan masih menghantui saat saya mencoba menulis artikel yang berkaitan dengan pihak-pihak, khususnya pejabat,”
Kalimat itu diucapkan Sadli Saleh (34), wartawan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang menjadi korban kriminalisasi pejabat di tahun 2019. Sadli dilaporkan Bupati Buton Tengah kala itu, Samahudin, atas karya jurnalistik berjudul “Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat”.
“Tidak ada trauma healing kepada saya. Meski masih trauma dan terus memulihkan mental, saya tetap berkarya dengan tulisan-tulisan yang soft dan mengikuti berbagai pelatihan serta fellowship,” lanjutnya.
Sadli hidup terpisah dari istri dan anaknya karena menjalani harinya di Lembaga Permasyarakat Kelas II A Baubau atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Pasarwajo.
Sadli dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan divonis dua tahun penjara.
Sadli salah satu jurnalis korban pasal karet UU ITE yang menjadi preseden buruk terhadap kebebasan pers di Indonesia. UU ITE menjadi ancaman bagi para jurnalis dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.
Jurnalis dan ancaman UU ITE dan KUHP
Berpegang pada UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, jurnalis menjalankan tugasnya. Pada pasal 8 disebutkan dalam menjalankan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum.
Selain itu, pada pasal 50 KUHP dinyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak boleh dipidana.
Menjadi profesi spesial, jurnalis tetap rentan dengan berbagai ancaman, yaitu ancaman kriminalisasi dengan UU ITE dan KUHP, kekerasan dari aparat keamanan dan pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan.
Aparat penegak hukum sebagai regulator acapkali menjerat jurnalis dengan pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) UU ITE yang bersifat multitafsir dan digunakan untuk menghindari kritik dari jurnalis.
Safenet mencatat selama periode 2008 – 2018 terdapat 245 laporan kasus ITE dengan upaya pemidanaan terhadap 14 jurnalis dan 7 media. Kriminalisasi ini sangat berdampak pada pengucilan suara pers.
Kekerasan Aparat Keamanan Terhadap Pekerja Media
Saat bertugas jurnalis juga kerap mendapat kekerasan dari aparat keamanan, seperti yang dialami sejumlah jurnalis di Sulawesi Tengah, diantaranya Asnawi Zikri dan Alsih Marcelina.
Asnawi, jurnalis di Kabupaten Banggai mendapat kekerasan dari oknum anggota Kodim 1308/LB atas berita penemuan seorang pria yang tewas di rumah kos yang diduga menjadi tempat prostitusi salon ilegal.
“Saya diserang oknum TNI berinisial SL bersama tiga orang warga sipil di sebuah toko. Saya mendapat luka empat jahitan di jidat kiri, mata kiri dan kepala bagian belakang bengkak, bahu kiri memar,” ungkapnya.
Atas aksi kekerasan itu SL diadili di pengadilan militer Manado dan dihukum delapan bulan masa percobaan.
“Kecewa dan ragu, apa benar ada persidangan. Saya tak dipanggil mengikuti persidangan, salinan putusan tak ada meski sudah saya diminta. Jaksa militer tidak menggunakan UU Pers, padahal perbuatan SL merupakan serangan terhadap kebebasan media,” tegasnya.
Sementara itu, Alsih Marcelina, jurnalis di Kota Palu, mengalami aksi kekerasan oleh oknum anggota Polres Palu saat liputan aksi demonstrasi penolakan UU omnibus law.
Dalam aksi demonstran yang menjadi chaos, Alsih bersama rekan-rekannya berlari mengamankan diri di samping barikade aparat kepolisian untuk menghindari lemparan batu.
Alsih yang mengira berada di dekat barikade polisi merupakan tempat aman malah menjadi korban dari tindakan kekerasan aparat kepolisian.
“Saya kena bogem mentah dari aparat, muka dan hidung ditonjok setelah sebelumnya disuruh menunduk. Saya tidak kenali wajah pelaku, habis memukul mereka langsung berlari, tembakan gas air mata juga menghalangi saya melihat wajah pelaku,” kisahnya.
Insiden itu dilaporkan Alsih ke pihak kepolisian dengan laporan Polisi nomor STPL/74/X/2020. Atas laporan itu, Polres Palu melakukan pemeriksaan terhadap sekitar 70 personel.
“Pemeriksaan terkendala alat bukti hingga Polisi belum bisa menyimpulkan dan menentukan siapa pelakunya. Namun, Kapolres Palu saat itu, AKBP Riza Faizal, meminta maaf atas insiden yang terjadi,” lanjutnya.
Aksi kekerasan yang diterima Asnawi dan Alsih meninggalkan trauma terhadap keduanya, baik fisik maupun mental.
“Trauma, peristiwa itu terus terbayang ketika ingin menulis berita yang sedikit fenomenal. Saya jadi lebih peka, selektif, tidak menulis berita dalam keadaan emosi, itu cara saya atasi trauma,” urai Asnawi.
Sedangkan Alsih membutuhkan waktu dua bulan untuk bisa kembali menjalankan tugasnya sebagai jurnalis.
“Sebagai perempuan peristiwa itu membuat trauma fisik dan mental, dua bulan tidak turun liputan. Dukungan orang sekitar pelan-pelan membuat saya bangkit dari trauma,” kata Alsih.
Pelecehan Seksual Terhadap Jurnalis Perempuan
Selain rentan terhadap aksi kekerasan fisik, jurnalis juga rentan terhadap kekerasan seksual, khususnya jurnalis perempuan.
Seperti yang dialami HL, jurnalis di Kabupaten Banggai, saat melakukan peliputan terkait kasus penyalahgunaan senjata api oleh oknum anggota DPRD Kabupaten Banggai Kepulauan.
“Pelecehan seksual itu terjadi dalam ruang kerja oknum anggota DPRD. Saat rekan saya berada di toilet, oknum tersebut melecehkan saya, saya teriak tapi tangan oknum itu menyekap mulut saya,” ceritanya.
Tidak mengantongi bukti kuat membuat HL memilih tak melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialami.
“Saya trauma hebat jika ketemu pejabat laki-laki. Hingga saat ini saya terus mencoba healing dan ke psikolog guna mengatasi trauma,” tandasnya.
Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Kebebasan Pers
Rustam Fachri Mandayun, Analis di Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, menuturkan sampai dengan Juli 2022, ada 59 pengaduan yang masuk ke Dewan Pers.
“47 pengaduan diselesaikan melalui risalah kesepakatan, empat pengaduan dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR), 36 pengaduan diselesaikan melalui surat. Termasuk bulan yang sibuk dengan pengaduan,” ungkapnya.
Rustam mengatakan secara umum, setiap tahun ada sekitar 600 pengaduan masuk di Dewan Pers. Sesuai dengan perkembangan zaman, era digital, 90 persen pengaduan terhadap media digital atau online.
“Ini pertanda kesadaran masyarakat bahwa perkara jurnalistik harus diselesaikan melalui Dewan Pers semakin meningkat. Di sisi lain, artinya meskipun tidak berbanding lurus, ketaatan pers atau media terhadap UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik masih perlu ditingkatkan,” lanjutnya.
Menurut Rustam perlindungan hukum terhadap jurnalis saat ini relative lebih baik, meski selalu saja terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam penanganan sengketa pers.
Jika terjadi penyimpangan, yakni masyarakat membawa sengketa pers ke lembaga kepolisian, Nota Kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers digunakan dalam proses penanganan perkaranya.
“Dalam Nota Kesepahaman ditegaskan jika ada perkara pers, baik karya jurnalistik serta perilaku wartawan terkait kerja jurnalistiknya, maka akan dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Dewan Pers. Artinya sengketa jurnalistiknya harus diselesaikan dulu di Dewan Pers,” ucapnya.
Khusus UU ITE, lanjutnya, sudah ada keputusan tiga lembaga, yakni Menkominfo, Kapolri dan Jaksa Agung, terkait implementasi Pasal 27 ayat (3) jika berkenaan dengan karya jurnalistik atau pers.
Dimana untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik, diberlakukan mekanisme sesuai UU Pers sebagai lex specialis, bukan pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Tapi jika wartawan mengunggah tulisan di media sosial atau internet secara pribadi maka UU ITE tetap berlaku.
“Saya kira itu sebagian dari pagar penjaga bagi wartawan atau jurnalis professional dalam menjalankan dan melaksanakan kemerdekaan pers,” tandasnya.
Ketua AJI Indonesia Sasmito menambahkan saat ini pihaknya bersama Dewan pers dan organisasi pers lain sedang mengadvokasi terkait RKUHP serta Perkominfo nomor 5 tahun 2020.
“Kami melakukan advokasi kebijakan dan mendorong penghapusan terhadap pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers,” tuturnya.
Pentingnya Penerapan Pasal 18 UU Pers
Pasal 18 UU Pers mengatur ketentuan pidana dengan memberikan sanksi terhadap barang siapa yang dengan sengaja melawan hukum menghambat fungsi, tugas dan peran wartawan sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh ketentuan perundangan.
LBH Pers mencatat setiap tahun kasus kekerasan terhadap pers mengalami naik turun, namun angkanya tak pernah kurang dari 50 kasus. Tercatat ada 79 kasus di 2019, 117 kasus di 2020 dan 55 kasus di 2021.
“Di 2022 ini LBH pers menangani 12 kasus kekerasan terhadap pers dan advokasi kebebasan pers, baik melalui proses pidana (5), gugatan perdata (2), permohonan MK (3),hingga gugatan di PTUN (2),” ungkap Mustafa.
Mustafa menguraikan di 2019 grafik kekerasan didominasi kekerasan fisik (30) dan penghapusan data peliputan (24), di 2020 didominasi tindakan intimidasi (51) dan penganiayaan (24), sedangkan di 2021 didominasi penghalang-halangan (16) dan penganiayaan (10).
Dalam penanganan untuk kasus pidana, lanjutnya, dimana jurnalis sebagai pelapor/korban, sangat sulit untuk proses di kepolisian atau kerap terjadi praktik impunitas (undue delay).
Sementara untuk kasus-kasus pidana di mana jurnalis sebagai terlapor, proses penyidikan berjalan hingga ke pengadilan.
“Beberapa jurnalis divonis bersalah, meski vonis hakim jauh lebih kecil dibanding tuntutan jaksa, ini tetap preseden buruk dari penerapan pasal-pasal pidana yang multitafsir dan kerap disalahgunakan kepada pers,” tegasnya.
Untuk itu, LBH Pers menilai pasal 18 UU pers sangat penting untuk diterapkan pada kasus kekerasan terhadap jurnalis.
“Meski UU Pers sudah berumur lebih dari dua dekade, namun penerapan pasal 18 sangat jarang digunakan oleh penyidik kepolisian terhadap pelaku penghalangan kerja jurnalis,” ucapnya.
Kasus kekerasan terhadap Jurnalis Tempo Nurhadi contohnya, menjadi preseden baik dalam penerapan pasal 18 ayat (1) UU Pers, juncto pasal 55 ayat (1) KUHP, serta pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 UU Pers.
“Pengadilan Negeri Kota Surabaya memvonis bersalah kepada dua oknum anggota kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan dan penghalangan kerja jurnalistik Nurhadi sebagai pers saat meliput. Harapannya putusan ini menjadi yurisprudensi yang bisa digunakan untuk kasus lainnya,” tandasnya.
Selain itu, AJI Indonesia melalui divisi advokasi mencatat kasus kekerasan di 2019 mencapai 53 kasus dan 84 kasus selama 2020.
“Bukan hanya mengalami peningkatan, tapi merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa rekan-rekan jurnalis belum bebas melakukan liputan dan memproduksi karya jurnalistik. Sebab masih banyak tindak kekerasan dialami,” kata Sasmito.
Dari segi jenis kekerasan, didominasi intimidasi dan kekerasan fisik. Namun, perkembangan yang lebih merisaukan saat ini adalah meningkatnya kualitas jenis serangan digital terhadap media.
“Kekerasan ini juga merupakan dampak ikutan dari pandemi. Serangan terhadap media secara siber itu terjadi dengan menyasar media dan jurnalis karena berita yang memuat semangat kontrol sosial terhadap pemerintah dalam menangani pandemi,” bebernya.
Sasmito menekankan rekan Jurnalis yang mendapat tindak kekerasan berhak mendapat advokasi hukum dari organisasi.
“Diluar anggota AJI seperti pers mahasiswa, kami memberi pendampingan bagi mereka yang menjadi korban kekerasan,” tambahnya.
Sasmito juga menyoroti penegakkan hukum atas kekerasan terhadap jurnalis yang tidak berjalan. Dan perlu upaya serius dari semua pihak untuk mendorong kasus kekerasan-kekerasan itu diselesaikan, agar tidak berulang kembali.
“Kasus jurnalis Tempo Nurhadi misalnya, kedua pelaku divonis bersalah, dihukum sepuluh bulan penjara dan ada kewajiban membayar restitusi. Ini membawa preseden yang baik, harapannya bisa diterapkan pada kasus kekerasan jurnalis lainnya, khususnya yang mangkrak di Kepolisian,” lanjut Sasmito.
Sasmito menegaskan dengan alasan apapun tindak kekerasan aparat tidak dibenarkan, karena tugas aparat seharusnya memberikan rasa aman bagi jurnalis.
“Ini lebih kepada impunitas untuk kekerasan, harusnya Polisi menegakkan, siapapun pelakunya harus diusut secara tuntas, tidak terkecuali dari kepolisian. Jurnalis juga harus memberikan edukasi ke publik, salah satunya melaporkan tindak kekerasan kepada Polisi,” tutupnya.
Sosialisasi UU Pers di Institusi Polri
Minimnya penguasaan dan pemahaman tentang aturan dalam UU Pers membuat Polda Sulawesi Tengah intens mensosialisasikan UU Pers kepada anggotanya.
“UU Pers disosialisasikan kepada seluruh jajaran Polres sampai Polsek dengan cara membuat petunjuk dan arahan baik berupa surat atau surat telegram,” beber Kompol Sugeng Lestari, Kasubdit Penmas Bidhumas Polda Sulawesi Tengah .
Polda Sulawesi Tengah juga membuat dan mengirimkan Penerangan Kesatuan untuk seluruh Satker Polda dan Satwil Polres tentang UU Pers.
Serta memberikan pembekalan kepada siswa pembentukan Bintara Polri di SPN Polda Sulawesi Tengah tentang UU Pers dengan menghadirkan AJI Palu sebagai pemateri.
Guna menimalisir terjadinya bentrok fisik dalam penanganan unjuk rasa, penanggung jawab di lapangan juga ditekankan untuk selalu mengingatkan keamanan dan perlindungan terhadap kerja media/pers.
Selain ID Card, Kompol Sugeng berharap saat melakukan peliputan di lapangan jurnalis melengkapi diri dengan tanda pengenal yang bisa dikenali dari jauh, misalnya berupa rompi bertuliskan medianya atau tulisan PERS.
Serta mematuhi imbauan terhadap lokasi yang boleh atau dilarang untuk diliput sesuai dengan imbauan petugas yang menjalankan perintah atasannya.
Terkait insiden kekerasan yang melibatkan oknum anggota Polri, Kompol Sugeng menegaskan bahwa pihaknya memberikan sangsi sesuai aturan dalam sidang disiplin anggota Polri.
“Insiden kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan oknum anggota Polri selain diselesaikan secara kekeluargaan dan pimpinan meminta maaf, juga diproses melalui sidang disiplin anggota Polri oleh Bidpropam Polda atau Polres,” pungkasnya.
Program Pendampingan Kepada Jurnalis Perempuan
Kasus pelecehan seksual yang dialami jurnalis perempuan bagaikan fenomena gunung es, korban pada umumnya tak berani mengungkapkan apa yang dialaminya kepada orang lain.
Mengungkap kasus pelecehan seksual masih diangap tabu, pola pikir inilah yang membuat sulitnya kasus pelecehan seksual diungkap.
Ketua AJI Palu Yardin Hasan menuturkan pihaknya senantiasa memberikan pemahaman kepada anggotanya untuk berhati-hati dalam melakukan liputan yang berpotensi konflik maupun kekerasan seksual, khususnya jurnalis perempuan.
Salah satunya tidak melakukan candaan yang mengarah ke pelecehan, baik pelecehan seksual maupun pelecehan verbal.
“Kekerasan seksual cenderung belum berubah karena kurangnya pemahaman atau tak mengetahui secara tepat batasan-batasan soal pelecehan seksual. Dalam menjalankan tugas, jurnalis perempuan yang sering menjadi korban,” tandasnya.
Implementasi Kebebasan Pers di Indonesia
Jaminan kebebasan pers memiliki hubungan kausalitas dengan perlindungan hukum jurnalis dalam menjalankan tuntutan profesinya.
Hasil survei Dewan pers terhadap Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2021 secara nasional menghasilkan nilai 76,2 dengan kategori cukup bebas. Provinsi Sulawesi tengah sendiri nilai IKP meraih 81,78 dengan kategori cukup bebas.
Kemerdekaan pers di Indonesia diharapkan benar-benar dijalankan oleh negara melalui pemerintah hingga aparat penegak hukum, bukan malah menjadi aktor yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap pers.
Apalagi pada saat ini banyak ancaman pemidanaan bagi kerja jurnalistik melalui RKUHP. Dari catatan LBH Pers, setidaknya ada 28 pasal yang dapat digunakan untuk memidanakan profesi jurnalis.
Seperti tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dan banyak pidana lainnya.
Kebebasan Pers dan Jurnalisme Aman
Jika negara mampu memenuhi rights to information dan rights to know maka konsep demokrasi melalui kebebasan pers akan berjalan sesuai dengan hukum
yurisdiksi.
Dalam suatu krisis, perlu dipahami hubungan antara pers dan penegakan hukum yang mencakup tiga aspek krusial.
Pertama, pers merupakan objek penegakan hukum, karena pers adalah subjek hukum, sehingga harus memerhatikan kepentingan jurnalis dalam menyampaikan berita publik tanpa
harus dikekang kebebasannya.
Kedua, pers berperan sebagai fasilitator penegakan hukum yang wajib mengikuti kode etik jurnalistik. Dengan peran ini, pers akan mengolah, menyediakan, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Ketiga, pers sebagai penghambat penegakan hukum (trial by the press/peradilan oleh pers. (LBH Pers, 2016).
Pejabat dan aparat diharapkan tidak menutup telinga terhadap kritik, bila keberatan terhadap suatu berita ditempuh melalui jalur sengketa pers atau proses hukum sesuai dengan prosedur yang ada.
Organisasi jurnalis harus lebih aktif dalam memberikan pendampingan kepada korban, khususnya trauma healing dan memberikan pembekalan kepada anggotanya.
Dewan pers pun tak hanya mengeluarkan maklumat dan meningkatkan kompetensi jurnalis, tapi intens untuk memberikan perlindungan hukum kepada jurnalis.
Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi, kebebasan dan kemerdekaan pers harus benar-benar diciptakan sesuai regulasi UU Pers.
Pengekangan terhadap kemerdekaan pers berdampak besar terhadap profesi jurnalis, perlu diberikan tindakan tegas agar public trush terhadap pers meningkat, dan pers sendiri bisa berjalan sesuai dengan kaidahnya. (IKRAM/DEWI)