PALU – Pembacaan putusan terhadap mantan Direktur Utama PT Bank Sulteng, Rahmat Abdul Haris, dalam perkara dugaan pelanggaran kerjasama bisnis Bank Sulteng-PT Bina Artha Prima (BAP), menyajikan fakta menarik.
Yang paling mencolok adalah uraian tiga majelis hakim yang menyebut bahwa Jaksa Penutut Umum (JPU) tidak mampu membuktikan akurasi nilai kerugian negara yang muncul dari adanya kerjasama antara Bank Sulteng dan PT BAP.
Bahkan, tiga majelis hakim pun memiliki pendapat yang berbeda terkait dengan penetapan kerugian negara.
JPU dalam tuntutannya beberapa waktu lalu juga tidak menyebut adanya kerugian negara dalam perkara yang menjerat Rahmat Abdul Haris.
“Hasil perhitungan kerugian negara Jaksa Penuntut Umum yang dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulteng tidak dilakukan secara proporsional dan tidak sesuai fakta yang terungkap di persidangan,” kata hakim dalam amar putusannya, Senin (27/11).
Terkait dengan kerugian negara dalam perkara ini, para hakim memiliki pendapat tersendiri. Hakim anggota Sayonara berpendapat, pada kerjasama bisnis antara Bank Sulteng dan PT BAP terjadi kelebihan bayar marketing fee dari Bank Sulteng ke PT BAP.
“Dana tersebut diambil dari dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sekira Rp1,6 miliar,” katanya.
Sedangkan hakim anggota Alam Nur menyatakan, kerjasama antara Bank Sulteng dan PT BAP secara pribadi menguntungkan perorangan di PT BAP, dengan rincian Direktur PT BAP Bekti Haryanto mendapat Rp439,4 juta, sedangkan Komisaris Utama PT BAP Asep Nurdin Al Fallah menikmati Rp679,2 juta, dengan akumulasi sebesar Rp1,1 miliar lebih.
Merujuk pada pendapat dua hakim tersebut, majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Johanis Hehamony sebagai hakim ketua, Sayonara dan Alam Nur sebagai hakim anggota, menyatakan Abdul Rahmat Haris melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Majelis hakim kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada Rahmat Abdul Haris dan Nur Amin H Rusman selaku Kepala Divisi Kredit PT. Bank Sulteng masing-masing 1 tahun penjara dan denda Rp200 juta, serta membayar uang pengganti Rp1,118 miliar.
Putusan majelis hakim ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penutut Umum (JPU) Kejati Sulteng yang menuntut Rahmat Abdul Haris pidana 8 tahun penjara dan Nur Amin H Rusman pidana 7 tahun penjara.
Terkait dengan putusan majelis hakim tersebut, JPU maupun tim penasihat hukum Rahmat Abdul Haris menyatakan pikir-pikir apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan tersebut.
Terpisah, Muhammad Nursalam selalu penasihat hukum Rahmat Abdul Haris, menilai, adanya perbedaan pandangan majelis hakim dengan JPU terhadap nilai kerugian negara menunjukkan perkara tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima atau NO sebagaimana eksepsi tim penasihat hukum diawal persidangan.
“Fakta sidang menegaskan kerugian negara yang disajikan oleh JPU tidak bisa dipertanggungjawabkan dan tidak sesuai fakta, hal ini juga diakui oleh majelis hakim dalam amar putusannya,” ungkap Nursalam, Selasa (28/11).
Fakta persidangan sebelumnya, juga terungkap keterangan para saksi di bawah sumpah depan majelis hakim, bahwa secara umum tidak ditemukan adanya tindakan eks Direktur Utama Bank Sulteng Abdul Rahmat Haris yang merugikan keuangan negara.
Bahkan, pada keterangan saksi ahli Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulteng yang harusnya menjadi rujukan kerugian negara, terungkap fakta kalau dasar perhitungan kerugian negara pada perkara kerjasama bisnis antara Bank Sulteng dan PT BAP periode 2017-2021 tidak jelas, sehingga kerugian negara yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memenuhi unsur kepastian.
“Harusnya perhitungan kerugian negara dari BPKP yang menjadi rujukan pada kasus ini. Tapi nyatanya juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi tidak berlebihan kalau disebutkan kasus ini seharusnya tidak dapat diterima dan dinyatakan tidak sah dikarenakan dakwaan penuntut umum juga disandarkan pada perhitungan BPKP tidak nyata dan tidak pasti,” terang Nursalam.
Merujuk pada hal tersebut, penetapan nilai kerugian negara pada perkara kerjasama bisnis Bank Sulteng-PT BAP, dianggap sumir atau kabur karena tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Kondisi tersebut merujuk pada keterangan saksi ahli akuntansi dan auditing dari BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, Mirza Asep Shena.
Di depan majelis hakim, saksi ahli Mirza Asep Shena mengakui kalau Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Nomor : PE.03/SR-254/PW19/5/2022 tanggal 26 Agustus 2022, dibuat hanya berdasarkan target Rp25 miliar yang berasal dari memo internal Bank Sulteng yang tidak tercantum dan disepakati di dalam perjanjian kerjasama antara PT Bank Sulteng dengan PT Bina Artha Prima tahun 2017-2021.
Tapi, Mirza mengaku tidak mengetahui kalau memo internal Bank Sulteng tersebut justru mengikat pihak ketiga dalam hal ini PT Bina Artha Prima untuk mencapai target. (*)