MENGENAKAN kemeja kotak-kotak lengan panjang dan memakai kupluk, seorang pria nampak sibuk menata pot-pot terbuat dari tempurung kelapa, dengan rangkaian ranting dan kelopak bunga dari sisa limbah alam.
Puluhan pot bunga dengan ragam kreasi itu diletakkan pada sebuah kendaraan Vespa, dimodifikasi sedemikian rupa digunakan oleh Sosok pria dengan setelan anak zaman sekarang itu. Adalah Faisal, pengrajin handicraft mengolah bahan baku sering ditemukan dilingkungan menjadi benda-benda, yang tidak hanya bernilai pakai tetapi juga bernilai estetis.
Faisal atau akrab dipanggil Ical Sudah 15 tahun bergelut dengan handicraft. Kai ini ia mengikuti pameran Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) diselenggarakan oleh Sekolah Sukma Bangsa dalam Open House Sukma Competition Of Culture, Education and Sport (Succes) bertempat di Sekolah Sukma Bangsa Sigi, Jalan Poros Kaleke , Desa Maku, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulteng, Rabu (22/2).
Berdasarkan pengalamannya bergelut handicraft dan mengikuti pameran-pameran diadakan, ia menarik satu kesimpulan. Hal sering dihadapi oleh pelaku UMKM belum ada ruang atau tempat khusus bagi kriya handicraft.
“Untuk pemasaran setengah mati sebenarnya. Belum ada ruang khusus, betul-betul ada di ruang kerajinan itu. Jadi kita masih cari pasar sendiri,” tutur Ical.
Selain masalah pemasaran, tentu masalah produksi.
Menurutnya harus ada pasar khusus, agar para tamu dari luar daerah tidak repot lagi harus mencari ke mana
sudah ada pasarnya, ada kesinambungan
“Sebab tamu-tamu dari luar daerah ini biasa mencari kerajinan endemik,”ucapnya.
Ia pernah mengikuti satu pameran pasar malam diselenggarakan oleh Owner “Kaos Pataba” mereka (tamu) mencari kerajinan endemik kedaerahan misal kerajinan guma, miniatur burung maleo dan lainnya.
“Olehnya kalau bisa letak lokasi pasar khusus kerajinan handicraft itu tidak jauh dari pusat kota, agar bisa dijangkau, tamu dari luar daerah,” bebernya.
Ia menceritakan, kalau membuat kerajinan handycraft ini, dirinya belajar secara otodidak, ada kemauan lalu tindakan. Pembuatan proses pot bunga dari tempurung tersebut membutuhkan waktu sekitar 4 bulan.
“Mulai bulan pertama mengumpulkan bahan, bulan kedua pengolahan, bulan ketiga merangkai dan bulan keempat finishing,” urainya.
Ia menuturkan, dalam membuat serta menyelesaikan kerajinannya, harus dikerjakan dengan senang hati, tidak boleh dipaksa. “Harus senang kita bikin, tidak boleh kita paksa,” katanya.
Ia sendiri menargetkan 400 pot bunga harus diselesaikannya. Bahan dipakai pun menggunakan bahan alami seperti, batok kelapa, buah pinang, kulit jagung, pasir laut, tongkol jagung dan lainnya.
“Pokoknya limbah alam,” katanya.
Harga ditawarkan setiap pot bunga dijualpun dengan harga bervariasi kata dia, mulai harga Rp50 ribuan, sampai ratusan ribu seperti bunga sudut, harganya Rp450 ribu.
Pembelinyapun, lanjut dia lebih banyak dari Kota Palu, ada yang suka dan ada butuh. “Kalau yang suka itu dipakai untuk hiasan di rumah. Kalau yang butuh itu ibu-ibu non reg kuliah untuk tugas kampus atau tugas sekolah,” Imbuhnya. (IKRAM)