PALU – Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk menyerahkan catatan mengenai sumber-sumber pendapatan dan retribusi.

“Apa yang disampaikan kalau bisa kita diberikan dalam bentuk catatan, supaya bukan hanya diingat-ingat,” kata Anggota Banggar, Sony Tandra, saat rapat pembahasan Rancangan APBD Tahun 2024, di ruang sidang utama DPRD Sulteng, Selasa (14/11).

Sony menyoroti kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam RAPBD yang bersumber dari Pajak Air Permukaan (PAP).

“Sekarang bisa naik sampai Rp70 miliar. Tentu ini saya apresiasi. Tapi saya belum puas karena setelah saya pelajari cara perhitungannya belum sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 15 Tahun 2017,” ungkap Sony Tandra.

Ia membandingkan sumber PAD yang dihasilkan dari PAP PLTA Sorowako, Sulawesi Selatan.

Kata dia, di Sorowako dengan kapasitas 360 megawatt, bisa memberi PAD kepada Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp80 miliar sampai Rp85 miliar.

“Kita di Sulteng dengan satu PLTA saja, yaitu PT Poso Energy kapasitasnya mencapai 515 megawatt, tapi cuma memberikan kontribusi PAP tidak sampai Rp20 miliar, ini jauh sekali dari yang kita harapkan. Powernya lebih tinggi tapi kontribusinya kecil,” ujarnya.

Belum lagi, kata dia, PAP yang bersumber dari PT IMIP dan lainnya, seperti PLTU yang ada di Luwuk.

Dari sisi objek pajak, ia juga ingin mendapatkan penjelasan dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), karena masih ada objek pajak yang belum tercantum.

“Mudah-mudahan setelah diberikan kita bisa lihat. Dilampirkan juga tarif kalau untuk PLTA berapa? Untuk industri berapa, untuk PDAM berapa, supaya kami bisa komparasi dengan daerah lain,” jelasnya.

Ia juga mempertanyakan sumber pendapatan dari retribusi, cara pembayaran dan tarifnya.

“Selama ini ada pengalaman saya dan teman-teman, kalau kita beli bibit ikan, langsung main bayar seperti beli di kios. Padahal setelah saya baca aturan di daerah lain, sebenarnya tidak seperti itu,” ujarnya.

Harunya, kata dia, tarifnya jelas dan ukurannya berapa, kemudian dibayar ke bank. Bukti pembayaran itulah yang dibawa untuk menddapatkan barang.

“Tapi ini tidak, diterima langsung tunai di lokasi. Menurut saya ini punya potensi kehilangan yang cukup tinggi. Kita bukan curiga, tapi bagaimana kita tahu bahwa uang itu disetor. Ini perlu kita lakukan pengawasan yang lebih ketat sehingga pendapatan daerah kita bisa maksimal,” imbuhnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Bapenda Sulteng, Rifki Anata Mustaqim, mengatakan, pihaknya bersama Cikasda sudah pernah membuat simulasi untuk penarikan PAP tersebut.

Untuk Poso Energy saja, kata dia, bisa didapat Rp40 miliar per bulan dari PAP. Namun, kata dia, dikurangi karena terlalu tinggi sehingga dapat 4%.

“Itu baru Poso Energy, belum ke GNI dan lain-lain. Makanya saya minta kepada kepala bidang untuk membuat permohonan anggaran sekitar Rp300 juta atau Rp400 juta untuk mengkaji itu. Jadi tidak main-main,” katanya.

Untuk retribusi, kata dia, tahun depan malah ada yang dihapus, ada juga kewenangan yang diambil pusat. (RIFAY)