TIDAK terasa, sudah 10 tahun lamanya, kehadiran koran harian Media Alkhairaat (MAL) ditengah-tengah masyarakat Sulawesi Tengah. Sabtu, 20 Januari 2018, seluruh karyawan perusahaan, kembali merumuskan langkah apa yang akan dilakukan untuk tahun ini, dimana persaingan tidak hanya pada kompetitor koran harian, tetapi harus melawan derasnya arus informasi yang disajikan media siber (online) dan media sosial.
Bukan hanya itu, setiap tahunnya, puluhan media massa, khususnya koran harian menyatakan diri gulung tikar dan menutup perusahaan, karena menganggap keuntungan dari bisnis informasi ini, sudah tidak menjanjikan lagi.
Namun jika dirunut kembali, substansi lahirnya media ini, yang menyatakan diri sebagai corong informasi dakwah dari organisasi besar Islam di kawasan indonesia bagian timur, yang disebut Perguruan Alkhairaat.
Tidak pun merasa angkuh, tapi mungkin ini realitanya, koran Harian MAL, merupakan satu-satunya dan mungkin yang terakhir, dari koran terbitan harian, yang dimiliki oleh organisasi islam di Indonesia.
Koran yang mengusung tag-line, pengemban hati nurani ummat, telah menyatakan diri, untuk tetap hadir ditangan pembaca setiap harinya, khususnya bagi mereka yang juga menyatakan diri sebagai abnaulkhairaat.
Bukan hal yang mudah, di awal tahun 2018, Rapat Kerja Tahunan dengan tema “Bersama, Tulus Mengabdi untuk Alkhairaat” merupakan momentum penting, untuk menentukan kembali arah dan eksistensi kembalinya media ini, kembali bertarung untuk menyajikan informasi yang aktual, akurat dan terpercaya, tapi tetap pada koridor keislaman, yang menjadi patokan dunia dan akhirat.
“Yang paling penting adalah kepribadian yang baik, dari semua yang bekerja di Media Alkhairaat. Sehingga orang bisa mengetahui, perbedaan antara wartawan MAL dengan media lainnya,” pesan Direktur Utama Media Alkhairaat, Habib Sayyid Shaleh Aljufri.
Kepada puluhan karyawan dan karyawati MAL, Habib Shaleh mengatakan membangun media dakwah, tidak semudah membangun media yang berorientasi pada bisnis dan keuantungan.
“Mungkin banyak yang tidak tahu, bagaimana susahnya kita membangun dan mempertahankan media ini,” kata Habib Shaleh.
Namun dengan kekurangan itu, tidak menjadikan kita lemah atau pun berputus asa. Tetapi itu menjadikan spirit, dorongan dan kekuatan, agar dapat menghasilkan berita-berita yang berkualitas, dengan nuansa islami yang lebih kental, bahkan dapat menghasilkan berita-berita yang memiliki nilai agama.
“Tahun ini, kita akan terus berupaya untuk menaikan jumlah oplah dan pelanggan,” ungkap Habib Shaleh.
Pesan cucu dari Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri, yang juga pendiri Alkhairaat itu, merupakan cambukan penyemangat, agar semua bagian dari media ini, bisa memberikan karya terbaik.
Karya itu pun tetap diyakini akan menjadi satu keberkahan, yang hasilnya bisa dinikmati di dunia dan akhirat kelak.
Motivasi dan semangat untuk tetap berdiri tegak, membangun syiar Islam melalui Media Alkhairaat, juga diberikan oleh sejumlah alumni yang lahir dari media ini. Mereka diantaranya Sofyan Arsyad, Ashar Hasyim, Nasution Camang dan Khaeruddin Saleh.
Mereka tidak lagi menghasilkan karya Jurnalistik di Media Alkhairaat, tapi saat menjadi bagian sejarah perjalanan media ini, mereka sangat mengetahui, bahwa substansi hadirnya Media Alkhairaat hanya untuk syiar dakwah dan bukan mencari keuntungan bisnis.
“Yang perlu dipertajam yakni analisis dan investigasi isu kekinian serta isu-isu lokal,” pesan Nasution Camang, yang juga mantan Pimpinan Redaksi Media Alkhairaat.
Sofyan Arsyad juga menitipkan pesan, agar semua awak Media Alkhairaat bisa lebih kreatif lagi, dengan menghasilkan karya jurnalistik yang tidak sebatas berita kejadian semata, namun bisa membuat rasa penasaran pembaca akan hadirnya koran ini ditangan mereka.
Rapat kerja tahun ini seakan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena seluruh awak media masih memiliki harapan dan keyakinan, Media Alkhairaat bukan koran harian biasa, yang hadir karena persaingan industri bisnis informasi.
Lebih dari itu, keyakinan akan media yang terbit pertama kali 24 Juli 1971, tidak akan pernah pudar, tidak akan pernah terbayar dengan materi apa pun, dan tidak akan pernah mengadaikan idealisme hanya untuk kepentingan sesaat.
Seperti syair Habib Idrus yang berbunyi “Bil Ilmi Wal Akhlaq Idrakul Munaa ~ Inrumta Ilman Laa Takummutakabbir”. Untuk mencapai cita-cita, dasar kita adalah Ilmu dan Akhlak. Cita-cita kita untuk menunjukan kebenaran, harus disampaikan secara benar berlandaskan akhlak. (FAUZI)